Celios: Pengalihan dana Rp200 triliun ke Himbara berisiko perkuat proyek energi fosil

Jakarta – Rencana pemerintah mengalihkan dana kas negara sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia (BI) ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) memicu sorotan tajam dari kalangan ekonomi hijau. Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai kebijakan itu berpotensi menjadi bumerang apabila aliran likuiditas justru memperbesar pendanaan sektor energi fosil, alih-alih mendorong transisi menuju energi terbarukan.

Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, Jumat, 12 September, mengingatkan bahwa pemerintah tidak boleh sekadar menyerahkan dana kas tersebut ke Himbara tanpa aturan ketat. Menurutnya, risiko kredit macet dan aset terlantar (stranded asset) akan sangat tinggi bila proyek batubara atau energi fosil tetap menjadi prioritas pembiayaan bank.

“Pak Purbaya harus lebih berhati-hati. Pengalihan dana kas pemerintah ini bisa kontraproduktif terhadap agenda transisi energi. Jika bank Himbara masih dominan mendanai proyek fosil, yang ada justru beban keuangan di masa depan,” ujar Bhima.

Bhima menekankan, saat ini porsi pembiayaan energi terbarukan di bank Himbara masih minim, yakni di bawah 1 persen dari total kredit. Padahal, Celios menghitung sektor energi terbarukan mampu menciptakan hingga 19,4 juta lapangan kerja hijau (green jobs) dalam 10 tahun ke depan.

“Momentum ini seharusnya menjadi pintu masuk untuk memperkuat sektor energi bersih sebagai motor ekonomi baru. Tapi tanpa regulasi yang jelas, ada risiko dana Rp200 triliun ini hanya memperpanjang umur energi kotor,” tegas Bhima.

Nada serupa disampaikan Policy Strategist CERAH, Dwi Wulan. Ia menilai, pemanfaatan kas negara semestinya diarahkan pada pembangunan proyek berkelanjutan, mengingat potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 3.687 gigawatt (GW), sementara pemanfaatannya baru sekitar 13 GW atau kurang dari 1 persen.

“Dengan memperbesar porsi pendanaan energi bersih, industrialisasi nasional bisa berjalan stabil dan kompetitif. Kebutuhan listrik industri pada 2040 diperkirakan mencapai 50-60 GW. Kalau masih bergantung pada fosil, risikonya stranded asset akan sangat besar,” kata Dwi.

Ia pun mendorong pemerintah dan Himbara mengadopsi kerangka Environmental, Social, Governance (ESG) sebagai panduan dalam penyaluran dana.

Dari sisi advokasi energi, Juru Kampanye Trend Asia, Novita Indri, menegaskan celah pendanaan ke proyek batubara seharusnya ditutup rapat. Menurutnya, komitmen iklim Indonesia dalam Perjanjian Paris bisa runtuh jika bank Himbara tetap agresif di sektor fosil.

Laporan terbaru koalisi masyarakat sipil bertajuk “Mendanai Krisis Iklim: Bagaimana Perbankan di Indonesia Mendukung Pembiayaan Batu Bara” mengungkap bahwa sepanjang 2021–2024, bank domestik—termasuk Mandiri, BRI, dan BNI—telah menggelontorkan USD5,6 miliar ke perusahaan batubara terbesar di Indonesia. Dari jumlah itu, Bank Mandiri menempati posisi teratas dengan nilai pembiayaan mencapai USD3,2 miliar.

“Jika pola ini terus berlanjut, dana Rp200 triliun justru akan memperkuat sektor kotor yang bertolak belakang dengan janji Presiden Prabowo untuk 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan,” tegas Novita.

Dengan latar belakang tersebut, Celios mendesak Menteri Keuangan segera menyiapkan regulasi spesifik, misalnya melalui Peraturan Menteri Keuangan, agar penyaluran dana ke Himbara selaras dengan agenda transisi energi, pembangunan ekonomi hijau, sekaligus menjaga stabilitas fiskal negara. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles