
JAKARTA – Asosiasi Energy Surya Indonesia (AESI) menerima 14 pengaduan dalam periode November sampai Desember 2021 dari anggotanya yang kesulitan memasang PLTS atap karena tidak adanya izin dari PLN. “Sebanyak 79 persen kasusnya terjadi di Jawa Barat,” kata Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa, menurut kantor berita Antara (15/2).
Menurutnya penundaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 yang mengatur pemanfaatan PLTS atap di Indonesia menyebabkan ketidakpastian investasi energi bersih karena banyak pihak, terutama perusahaan multinasional, mempertanyakan komitmen Indonesia dalam meningkatkan energi terbarukan.
Awal tahun 2022, Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU), sebagai upaya pemerintah dalam mencapai target energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025. Peraturan Menteri ESDM ini merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sebagai upaya memperbaiki tata kelola dan keekonomian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap.
Dalam Pasal 7 Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang “Penggunaan sistem pembangkit listrik tenaga surya atap oleh konsumen PT PLN (Persero)” mensyaratkan dua hal yang harus dipenuhi pemohon untuk memasang PLTS atap, yaitu syarat administrasi berupa sedikitnya memuat nomor identitas pelanggan PLN dan syarat teknis berupa besaran daya terpasang sistem PLTS atap, spesifikasi teknis peralatan yang mau dipasang, dan diagram satu garis.
Terkait hal ini, Antara mengutip pernyataan Corporate Strategy General Manager Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia (MMKI) Diantoro Dendi mengenai hambatan yang ditemuinya saat memasang PLTS atap untuk kepentingan pabriknya.
Menurut Dendi, pihaknya telah mengajukan permohonan pemasangan PLTS atap pada April 2021 namun bari ditanggapi PLN pada Januari 2022 dengan memberikan persyaratan tambahan berupa maksimum kapasitas PLTS atap sebesar 1,75MW peak, pelarangan mengoperasikan pada hari libur dan ekspor listrik yang diperbolehkan hanya 65 persen. Syarat-syarat tambahan menurut MMKI tidak sesuai dengan PermenESDM Nomor 26 Tahun 2021. (nsh)