Laporan John Hopkins: Kegagalan BRICS risiko besar bagi iklim dan ekonomi global

Jakarta – Laporan terbaru dari Net Zero Industrial Policy Lab (NZIPL) Johns Hopkins University, yang dirilis bulan Juli, mengungkap bahwa ketidakseriusan negara-negara BRICS dalam menjalankan transisi energi terbarukan bisa menjadi bencana besar, bukan hanya bagi iklim global, tapi juga bagi masa depan ekonomi mereka sendiri. Laporan ini juga mengingatkan bahwa kegagalan BRICS dapat menghambat target dunia untuk melipatgandakan kapasitas energi bersih pada 2030, sebagaimana disepakati dalam COP28.

“Bersama-sama kita menyumbang hampir 50% dari produksi dan konsumsi energi global,” kata Thiago Barral, mantan sekretaris nasional untuk transisi dan perencanaan energi di Brasil, dengan menekankan bahwa “hal ini memberikan tanggung jawab bersama untuk mengupayakan keseimbangan antara ketahanan energi, pembangunan berkelanjutan, dan transisi menuju masa depan yang rendah karbon.”

BRICS—yang kini terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, Afrika Selatan, Mesir, Ethiopia, Indonesia, Iran, dan Uni Emirat Arab, yang mewakili kurang lebih 45 persen dari penduduk dunia—bertanggung jawab atas lebih dari 50 persen emisi karbon global. Meski investasi energi terbarukan di blok ini secara agregat telah melebihi pendanaan energi fosil, capaian tersebut masih jauh dari cukup.

Risiko sistemik bagi Indonesia

Laporan NZIPL yang berjudul “BRICS Going Green” menyoroti Indonesia yang di satu sisi mencatat lompatan dalam inisiatif manufaktur hijau, tetapi di sisi lain tetap bergantung pada batu bara. Salah satu kemajuan signifikan yang disebutkan adalah kesepakatan Indonesia-Singapura senilai USD10 miliar untuk membangun “kawasan industri hijau” di Bintan, Batam, dan Karimun.

“Indonesia telah menarik investasi baterai yang besar dalam pembuatan bahan aktif katoda nikel tinggi. Jika semua proyek yang telah diumumkan dibangun, kapasitas produksi bahan aktif katoda di Indonesia akan mencapai lebih dari 150 GWh, cukup untuk memproduksi lebih dari 2 juta baterai mobil listrik pada tahun 2030,” tulis laporan tersebut.

Namun demikian, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2024 Indonesia masih menunjukkan dominasi batubara hingga 60 persen, sementara target penghapusan bertahap batu bara belum sepenuhnya tertanam dalam kebijakan jangka pendek dan menengah. Padahal, Indonesia telah menyatakan ingin meningkatkan kapasitas EBT hingga 75 GW pada tahun 2040.

Laporan NZIPL menekankan bahwa BRICS tidak cukup hanya mengganti bahan bakar. Yang dibutuhkan adalah reformasi struktural besar-besaran melalui kerja sama industri dan teknologi, pembiayaan berkelanjutan, serta komitmen pada multilateralisme yang inklusif. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles