Jakarta – Dalam upaya memperkuat adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, Green Climate Fund (GCF) menyetujui pembiayaan senilai lebih dari USD120 juta atau setara Rp1,9 triliun untuk tiga negara yang masuk kategori paling rentan secara ekologis yakni Ghana, Maladewa, dan Mauritania.
Dana tersebut akan mendanai berbagai proyek adaptasi iklim berbasis kebutuhan lokal, mulai dari pertanian tahan iklim, sistem peringatan dini, pengelolaan air, hingga restorasi ekosistem.
“Persetujuan proyek-proyek ini menunjukkan bagaimana GCF mendukung kepemilikan negara atas prioritas aksi iklim nasional. Investasi ini akan berdampak nyata pada sektor-sektor utama ketahanan iklim di Ghana, Maladewa, dan Mauritania,” kata Henry Gonzalez, Kepala Investasi GCF, dalam keterangannya, Jumat, 4 Juli.
Wilayah utara Ghana kini mengalami perubahan pola curah hujan ekstrem di tengah musim kemarau panjang. Akibatnya, terjadi krisis air, penurunan produksi pangan, dan kerusakan infrastruktur akibat banjir bandang.
Untuk mengatasinya, proyek kerja sama antara GCF dan United Nations Environment Programme (UNEP) senilai USD63 juta digulirkan, dengan fokus membangun ketahanan agroekosistem pedesaan.
Langkah-langkahnya meliputi pemulihan 28.000 hektare lahan terdegradasi, peningkatan akses ke data iklim dan sistem peringatan dini, serta implementasi solusi penyimpanan air untuk mendukung pertanian musim kemarau
“Proyek ini menunjukkan bagaimana penggunaan dana hibah dapat membawa dampak besar, khususnya di negara berkembang yang menghadapi tekanan iklim akut,” ungkap Martin Krause, Direktur Divisi Perubahan Iklim UNEP.
Maladewa: Negara pulau terancam tenggelam, gencarkan proyek adaptasi
Maladewa disebut-sebut sebagai salah satu negara paling rawan terhadap krisis iklim akibat kenaikan permukaan laut, badai ekstrem, dan erosi pantai. Dampaknya meluas ke sektor kunci seperti perikanan, pertanian, dan pariwisata yang menopang perekonomian nasional.
UNEP dan mitra internasional tengah mengembangkan proyek senilai USD25 juta di negara kepulauan tersebut, untuk memperkuat ketahanan masyarakat pesisir serta menciptakan sistem adaptasi berbasis komunitas.
“Fokus kami adalah mengembangkan solusi yang kontekstual, dipimpin secara lokal, dan berdasarkan ilmu pengetahuan,” jelas Krause.
Mauritania: Bukit pasir bergerak, ketahanan pangan tertekan
Di Mauritania, tantangan iklim ditandai dengan pergerakan cepat bukit pasir, pendangkalan sumber air, serta kerusakan infrastruktur jalan dan pendidikan. Negara ini masih mengimpor hingga 85% bahan pangan karena hasil pertanian domestik yang rendah.
Untuk itu, UNEP meluncurkan proyek senilai USD33 juta, termasuk hibah USD30 juta dari GCF, yang akan dijalankan di empat wilayah rentan: Aoujeft, Rachid, Tamcheket, dan Nema.
Proyek ini akan mencakup pembangunan infrastruktur hijau-abu-abu untuk mengendalikan erosi pasir, peningkatan akses air untuk irigasi, serta rehabilitasi lahan dan pertanian tahan iklim
Diperkirakan 85.000 orang akan mendapat manfaat langsung dari proyek ini, sementara 2.100 hektare lahan akan terlindungi. Proyek juga akan mendukung kontribusi Mauritania dalam inisiatif Great Green Wall—proyek ekologi raksasa di Afrika untuk melawan penggurunan.
Pendanaan dari GCF ini menegaskan pentingnya tindakan adaptasi iklim berbasis lokal di tengah meningkatnya ancaman perubahan iklim global. Dengan melibatkan negara-negara berkembang secara langsung dalam desain dan implementasi proyek, pendekatan ini dinilai lebih berkelanjutan dan efektif. “Solusi harus disesuaikan dengan konteks lokal, dipimpin oleh masyarakat yang terdampak langsung, dan didukung oleh sains,” tegas Krause. (Hartatik)
Foto banner: DreamArchitect/shutterstock.com