Jakarta – Inisiatif konservasi baru yang didanai oleh Global Environment Facility (GEF), yang bertujuan untuk melindungi hutan primer yang tersisa di Asia Tenggara dan Pasifik, secara resmi diluncurkan di Chiang Mai, Thailand, demikian disampaikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada Jumat, 27 Juni.
Didukung oleh dana hibah dari GEF sebesar 42,4 juta dolar AS dan dana pendamping sebesar 185 juta dolar AS, Program Terpadu Hutan Asia Tenggara dan Pasifik akan mentransformasi konservasi hutan di seluruh bioma Hutan Indo-Malaya, yang merupakan salah satu benteng terakhir hutan tropis yang belum terjamah di dunia.
Membentang dari Bhutan hingga Papua Nugini, hutan-hutan primer di kawasan ini merupakan rumah bagi lebih dari 5.000 spesies yang terancam punah dan menyediakan jasa ekosistem yang sangat penting bagi lebih dari 560 juta orang. Namun, pertanian yang tidak berkelanjutan, penebangan hutan, dan perubahan tata guna lahan telah menghilangkan 60% dari vegetasi asli. Program baru ini bertujuan untuk membalikkan tren ini dengan meningkatkan kesehatan hutan, keanekaragaman hayati, dan mata pencaharian yang berkelanjutan.
Inisiatif ini diluncurkan dalam sebuah lokakarya awal yang diselenggarakan oleh Departemen Taman Nasional, Margasatwa, dan Konservasi Tumbuhan Thailand. Inisiatif ini akan dipimpin bersama oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO), dengan implementasi di tingkat negara oleh FAO dan UNDP di Laos, Papua Nugini, dan Thailand.
Program ini menetapkan target yang ambisius: peningkatan pengelolaan lebih dari 10 juta hektar, restorasi 8.500 hektar, mitigasi 34 juta ton emisi CO2, dan manfaat langsung bagi hampir 20.000 orang. Sebuah proyek koordinasi regional, yang dipimpin oleh IUCN dan FAO, bersama para mitra seperti CIFOR-ICRAF dan Grow Asia, akan mendukung kolaborasi lintas batas, pertukaran pengetahuan, dan pengembangan kebijakan di seluruh wilayah Indo-Malaya.
Delapan negara – Bhutan, Kamboja, Indonesia, Laos, Papua Nugini, Filipina, Thailand, dan Vietnam – menghadiri lokakarya ini dan mengesahkan beberapa hasil penting, termasuk visi regional untuk hutan primer, forum investasi, dan pusat pengetahuan dan pembelajaran.
“Program ini mewujudkan komitmen yang kuat dan kemauan politik untuk mengatasi penyebab hilangnya hutan dengan cara-cara yang proaktif dan inovatif,” ujar Carlos Manuel Rodríguez, CEO GEF. “Melestarikan hutan tropis primer merupakan respon terbaik untuk mengatasi krisis lingkungan yang mendesak.”
Grethel Aguilar, Direktur Jenderal IUCN, menyebut bioma ini sebagai “reservoir keanekaragaman hayati, budaya, dan ketahanan iklim yang hidup,” dan menekankan pentingnya kolaborasi lintas batas.
Perwakilan regional FAO, Alue Dohong, menyoroti potensi program ini untuk “mendorong aksi regional dalam melestarikan, melindungi, merestorasi, dan mendorong pemanfaatan lanskap hutan primer secara berkelanjutan… (terutama) di mana sebagian besar hutan masih belum terlindungi.”
Inisiatif ini merupakan bagian dari Program Terpadu Bioma Hutan Kritis GEF-8 yang lebih luas, yang menghubungkan upaya-upaya di Asia Tenggara dengan upaya serupa di Amazon, Lembah Kongo, Hutan Guinea, dan Mesoamerika, yang secara bersama-sama bertujuan untuk mengkatalisasi transformasi global dalam pengelolaan hutan dan konservasi keanekaragaman hayati. (nsh)
Foto banner: Hutan di Papua Nugini. ©️FAO/Cory Wright