BRIN: Iklim Indonesia bergeser drastis, musim hujan lebih panjang, hari kering bertambah

Jakarta – Penelitian terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyimpulkan bahwa iklim Indonesia telah memasuki tahap baru yang disebut sebagai “next level climate change”, dengan fenomena yang terkesan kontradiktif: musim hujan berlangsung lebih lama, namun jumlah hari kering tanpa hujan juga meningkat.

Temuan ini dipaparkan oleh Erma Yulihastin, peneliti dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, berdasarkan studi jangka panjang dari tahun 1990 hingga proyeksi ke 2050, dalam keterangan tertulis, Selasa, 1 Juli.

“Kondisi ini mencerminkan bagaimana wilayah Indonesia—yang didominasi laut—merespons peningkatan suhu global yang kini sudah menyentuh rata-rata 1,5°C,” ujar Erma. Menurutnya, durasi musim hujan semakin panjang, namun terdapat peningkatan jumlah hari-hari kering tanpa hujan, terutama di sela-sela musim yang mestinya basah.

“Ini menandakan pola musim di Indonesia semakin tidak menentu. Hujan deras dan ekstrem terjadi lebih sering di wilayah tertentu, sementara di wilayah lain justru mengalami kekeringan lebih panjang,” kata Erma.

Wilayah yang mengalami peningkatan intensitas hujan ekstrem meliputi Sumatera Selatan, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan. Sementara itu, wilayah selatan Indonesia seperti Jawa Tengah dan Timur, Bali, Lombok, serta Nusa Tenggara justru mengalami musim kemarau yang basah, ditandai dengan peningkatan frekuensi hujan ekstrem saat seharusnya musim kering.

Suhu ekstrem dan ketidakstabilan cuaca meningkat

Tak hanya pola hujan, variasi suhu ekstrem juga mulai tampak mencolok, terutama di Pulau Jawa. Jawa Timur bagian utara, termasuk Surabaya, diprediksi akan semakin sering mengalami suhu maksimum yang ekstrem. Sementara itu, Jawa Barat akan lebih sering menghadapi temperatur minimum yang lebih rendah dari biasanya.

“Perubahan suhu ini berdampak langsung pada pola angin darat-laut. Ketidakstabilan atmosfer meningkat, sehingga badai lokal dan cuaca ekstrem akan makin sering terjadi di daratan Jawa,” papar Erma.

Kondisi berbeda terjadi di Kalimantan. Kalimantan Barat lebih rentan terhadap hujan ekstrem, sedangkan Kalimantan Timur dan Selatan diperkirakan akan menghadapi risiko kekeringan yang lebih tinggi di masa mendatang. Suhu permukaan yang lebih panas juga diprediksi akan lebih dominan di bagian timur, tengah, dan selatan pulau itu.

Seluruh hasil studi BRIN ini telah dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah internasional dan menjadi referensi penting dalam menyusun strategi mitigasi dan adaptasi iklim nasional, terutama untuk sektor-sektor yang sangat bergantung pada kestabilan cuaca, seperti pertanian, perikanan, dan infrastruktur.

Erma menekankan bahwa pemerintah daerah harus lebih adaptif dalam menghadapi perubahan ini. “Kita tidak bisa lagi berpandangan bahwa musim akan selalu datang sesuai kalender. Ini eranya iklim yang tak terduga,” tutupnya. (Hartatik)

Foto banner: Genaro Servín/pexels.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles