Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengungkap potensi besar sejumlah pulau di Indonesia Timur untuk menjadi wilayah mandiri energi berbasis sumber daya terbarukan.
“Dengan sumber daya yang sangat kaya, seperti surya, angin, dan biomassa, ketiga pulau ini sebenarnya memiliki peluang besar untuk tidak hanya mandiri energi, tetapi juga menjadi percontohan bagi sistem energi bersih nasional,” ungkap Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, saat peluncuran laporan “Pulau Berbasis 100% Energi Terbarukan dan Fleksibilitas pada Sistem Tenaga Listrik” di Jakarta, Senin, 30 Juni.
Dalam laporan terbarunya, IESR menyebut bahwa Pulau Timor, Pulau Sumbawa, dan Sulawesi memiliki potensi untuk memenuhi 100 persen kebutuhan listriknya dari energi terbarukan sebelum tahun 2050. Namun, ambisi ini datang dengan tantangan besar: investasi yang dibutuhkan mencapai USD 5,21 miliar atau sekitar Rp85 triliun.
IESR menekankan bahwa model pengembangan sistem energi berbasis pulau lebih efisien dibandingkan pembangunan jaringan transmisi antarpulau. Biaya kabel bawah laut, menurut kajian mereka, bisa mencapai USD 2-3 juta per kilometer—tiga hingga lima kali lebih mahal dibanding kabel darat. Selain efisiensi biaya, pendekatan ini juga mengurangi risiko gangguan logistik akibat ketergantungan pada bahan bakar fosil di wilayah terpencil.
Di Pulau Timor, potensi energi terbarukan mencapai 30,81 GW, dengan dominasi tenaga surya sebesar 20,72 GW. Sementara di Sumbawa, total potensi mencapai 10,21 GW—sebagian besar juga dari surya. Adapun Sulawesi memiliki potensi proyek layak secara finansial hingga 63 GW, dengan energi surya dan angin sebagai andalan.
Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, Abraham Halim, memaparkan bahwa Sulawesi akan mengalami lonjakan porsi energi surya dan angin dari 2,4 persen pada 2024 menjadi 29 persen pada 2060. Ia menambahkan bahwa sistem ketenagalistrikan Sulawesi akan sangat bergantung pada fleksibilitas dalam beberapa dekade ke depan—termasuk integrasi baterai, interkoneksi antarwilayah, dan optimalisasi teknologi penyimpanan energi.
“Dalam jangka pendek, fleksibilitas akan bertumpu pada pembangkit berbasis air, fosil, atau bioenergi. Ke depan, interkoneksi dan penyimpanan baterai akan jadi tulang punggung stabilitas listrik,” ujar Abraham.
Alvin P Sisdwinugraha, Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, menambahkan bahwa keunggulan utama Sumbawa dan Timor terletak pada dukungan ambisius dari pemerintah daerah. Provinsi NTB, tempat Pulau Sumbawa berada, menetapkan target net zero emission (NZE) pada 2050. Sementara itu, NTT, yang menaungi Pulau Timor, menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 47 persen pada 2034.
Strategi pengembangan di Pulau Sumbawa terbagi dua yakni dalam jangka pendek (2025–2035), IESR merekomendasikan pembatalan proyek pembangkit berbasis fosil dan menggantinya dengan pembangkit energi terbarukan. Jangka panjang (2036–2050) difokuskan pada peralihan teknologi ke hidrogen dan ammonia hijau sebagai pengganti bahan bakar.
Sementara di Timor, strategi jangka pendek mencakup penghentian proyek PLTU dan PLTG baru dalam perencanaan, dengan intervensi terhadap Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) agar dapat digantikan oleh PLTS dan biomassa. Jangka panjangnya, pada 2050, seluruh pembangkit fosil akan dihentikan total, termasuk pensiun dini PLTU Timor. Komposisi energi diproyeksikan akan didominasi PLTS (82%), mini hidro (9%), angin (6%), dan biomassa (3%).
IESR menggarisbawahi bahwa keberhasilan transformasi ini akan sangat bergantung pada dukungan kebijakan dan kerangka hukum. Mereka mendorong percepatan pensiun dini PLTU batu bara, penguatan teknologi penyimpanan energi, serta reformasi proses perencanaan dan pengadaan energi. Diperlukan pula integrasi peta jalan hidrogen hijau ke dalam Rencana Umum Energi Daerah (RUED), serta penyederhanaan proses investasi energi terbarukan.
“Transformasi ini menuntut kerja bersama. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat perlu duduk bersama merumuskan kerangka kerja yang menjamin keberlanjutan, efisiensi, dan keadilan akses energi,” pungkas Alvin. (Hartatik)
Foto banner: metamorworks/shutterstock.com