
Semarang — Dalam gelaran Central Java Renewable Energy Investment Forum (CJREIF) 2025 yang berlangsung Kamis, 26 Juni, di Hotel Gumaya, Semarang, para pemangku kepentingan yang hadir menyatukan pandangan untuk mengakselerasi investasi energi terbarukan di provinsi yang disebut sebagai jantung manufaktur nasional tersebut.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menekankan bahwa perubahan peta investasi energi saat ini sedang berlangsung secara global, ditandai dengan pergeseran kapital dari energi fosil menuju energi bersih.
“Investasi energi terbarukan global tahun lalu mencapai USD 2,1 triliun, naik 11 persen dari tahun sebelumnya dan dua kali lipat dari 2022. Tahun ini, proyeksi investasi energi bersih mencapai USD 2,2 triliun, jauh melampaui investasi energi fosil,” ujar Fabby.
Ia menambahkan, kondisi ini menunjukkan bahwa pemilik modal di seluruh dunia kini lebih tertarik membiayai proyek-proyek energi bersih, bukan lagi PLTU atau infrastruktur berbasis batu bara. “Hari ini mencari pendanaan untuk membangun PLTU batubara itu susahnya setengah mati. Hampir tidak ada bank yang mau meminjamkan uang,” tegasnya.
Fabby menjelaskan lima tren besar yang kini membentuk wajah baru investasi energi dunia yakni pergeseran geografis ke Asia Pasifik sebagai destinasi investasi baru, berkembangnya pembiayaan inovatif seperti green bond dan green sukuk, meningkatnya pembiayaan nature-positive dan transisi berkeadilan, serta kolaborasi multipihak, termasuk lebih dari 500 bank pembangunan dunia yang kini menjalin kemitraan dengan lembaga filantropi dan sektor swasta untuk mendukung pendanaan hijau.
Potensi besar, tantangan serius
Dalam forum tersebut, Fabby juga menyoroti posisi Indonesia di mata investor dunia. Berdasarkan Energy Transition Index (ETI) dari World Economic Forum, Indonesia kini berada di peringkat 58 dari 120 negara, turun dari posisi ke-54 pada tahun sebelumnya. Di Asia Tenggara, posisi Indonesia masih tertinggal dari Malaysia, Vietnam, Thailand, dan Singapura.
“Kelemahan Indonesia terletak pada aspek kesiapan transisi, seperti kebijakan, iklim investasi, infrastruktur, serta kualitas sumber daya manusia,” terang Fabby.
Namun, menurutnya, Jawa Tengah punya peluang unik untuk memperbaiki itu semua. Sebagai daerah yang menyumbang 35 persen dari produk domestik regional bruto (PDRB) manufaktur nasional dan 3 persen PDB Indonesia, Jawa Tengah punya peran penting dalam mentransformasi basis industri eksisting menjadi industri hijau. Potensi energi surya sangat menjanjikan, dengan rata-rata radiasi sinar matahari mencapai 5 kWh/m2/hari, ditambah potensi biomassa dari sektor pertanian dan kehutanan.
IESR pun merekomendasikan lima langkah aksi bagi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Pertama, menyusun roadmap investasi hijau komprehensif yang memadukan strategi energi terbarukan, transformasi industri, dan pembangunan infrastruktur hijau.
Kedua, membentuk unit khusus untuk perizinan dan insentif investasi hijau, terpisah dari jalur investasi konvensional. Ketiga, mengembangkan green industrial park dengan desain ekonomi sirkular, smart manufacturing, dan pusat UKM/IKM bersertifikasi hijau.
Keempat, memperkuat kemitraan dengan sektor keuangan, termasuk mengaktifkan bank pembangunan daerah dan BPR sebagai sumber pembiayaan proyek skala mikro. Dan kelima, melakukan investasi besar dalam pengembangan SDM hijau, bekerja sama dengan perguruan tinggi untuk membangun green skill program dan menarik talenta muda.
Jateng siap jadi rumah bagi energi bersih
Mewakili pemerintah daerah, Asisten Ekonomi dan Pembangunan Sekda Jawa Tengah, Sujarwanto, menyatakan komitmennya untuk menjadikan provinsi ini sebagai rumah bagi inovasi, investasi, dan inisiatif hijau. “Forum ini mempertemukan pemilik proyek dan calon investor, serta menjadi ruang akselerasi energi bersih dan industri hijau di Jateng,” ujarnya.
Ia mencontohkan beberapa langkah konkret yang telah dilakukan Pemprov, seperti inisiatif “Jateng Solar Province” sejak 2019 yang mendorong pemanfaatan energi terbarukan hingga tingkat desa. Kini, lebih dari 2.000 desa di Jawa Tengah telah menjadi desa mandiri energi, tidak hanya memanfaatkan energi bersih untuk kebutuhan rumah tangga, tetapi juga untuk pengairan pertanian dan sistem air bersih masyarakat (Pamsimas).
“Kami ingin mendorong sebanyak-banyaknya potensi desa untuk memenuhi kebutuhan energinya secara mandiri dan berkelanjutan. Ini bukan hanya soal transisi energi, tapi soal keadilan dan kemandirian daerah,” tutup Sujarwanto. (Hartatik)
Foto banner: liyuhan/shutterstock.com