Jakarta – Organisasi kebijakan energi Transisi Bersih mendorong penerapan pajak ekspor batu bara sebagai solusi fiskal untuk mendanai transisi energi secara mandiri. Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum, Rabu, 25 Juni mengatakan bahwa Indonesia bisa membiayai transformasi energinya sendiri dengan cara logis dan strategis.
Dorongan ini berasal dari terbatasnya pendanaan publik dan belum cairnya janji pendanaan internasional seperti dalam skema Just Energy Transition Partnership (JETP). “Alih-alih terus bergantung pada dana luar negeri, kita bisa mengalihkan sebagian keuntungan dari ekspor batu bara untuk investasi energi bersih dalam negeri,” Arum.
Ia menambahkan, pendekatan ini secara tidak langsung juga menempatkan beban transisi pada negara-negara industri yang selama ini menyumbang emisi karbon paling besar.
Dalam ringkasan paper berjudul “Pajak Ekspor Batu Bara Nasional: Membangun Kemandirian Pendanaan untuk Transisi Energi Indonesia,” Transisi Bersih mensimulasikan dua skema pajak ekspor batu bara yang fleksibel dan tidak membebani pasar domestik. Skema pertama, berdasarkan nilai tukar rupiah terhadap dolar; skema kedua, berdasar harga global batu bara.
Dengan tarif berkisar 5–11 persen, potensi penerimaan negara diperkirakan antara USD 700 juta hingga lebih dari USD 5 miliar per tahun selama 2022–2024, bahkan bisa lebih besar mulai 2025.
“Permintaan global terhadap batu bara sangat tidak elastis, yakni hanya 0,008. Artinya, kenaikan harga 10 persen hanya menurunkan konsumsi sebesar 0,08 persen,” jelas peneliti senior Transisi Bersih, Muhammar Irfan.
Kondisi ini memungkinkan penambang di Indonesia untuk membebankan pajak ekspor kepada pembeli luar negeri tanpa mengganggu volume ekspor secara signifikan. Sebagai eksportir batu bara terbesar dunia, dengan lebih dari sepertiga pasokan global, Indonesia dinilai memiliki posisi strategis untuk mengatur harga pasar global melalui kebijakan fiskal yang tepat.
“Pajak ekspor ini bukan hanya soal pendapatan, tapi alat geopolitik dan transformasi,” tegas Harryadin Mahardika, Direktur Program Transisi Bersih.
Tambahan pemasukan lewat pungutan produksi
Gagasan serupa juga datang dari Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN). Mereka menilai bahwa selain pajak ekspor, pungutan produksi batubara dengan tarif progresif dapat menjadi sumber pendanaan signifikan.
Menurut Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya, berdasarkan data 2022 hingga 2024 dan berbagai skenario harga, tambahan penerimaan negara dari pungutan produksi bisa mencapai Rp 84,5 triliun hingga Rp 353,7 triliun per tahun (setara dengan USD 5,63 miliar – USD 23,58 miliar).
“Industri batu bara masih menikmati super normal profit. Kalau pungutan ini diterapkan, kita bisa membiayai pembangunan transmisi dan pembangkit energi terbarukan tanpa membebani APBN atau masyarakat,” kata Tata.
Ia menambahkan, skema ini bukan hanya memperkuat fiskal negara tetapi juga menjadi disinsentif produksi batu bara. Dengan begitu, investasi energi nasional bisa beralih lebih cepat ke sektor terbarukan, membuka jalan agar pasar energi hijau berjalan optimal sebelum 2030. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)