Jakarta – Para pakar kebijakan iklim menyuarakan keprihatinan mereka atas lambatnya dan kurangnya ambisi pembaruan rencana iklim nasional, atau Kontribusi yang Diniatkan Secara Nasional (NDC), pada hari Selasa, 17 Juni, di sela-sela pertemuan iklim UNFCCC SB62 di Bonn. Dengan tenggat waktu bulan September yang semakin dekat untuk menyertakan komitmen negara-negara ke dalam Laporan Sintesis NDC. Hal ini sangat penting untuk menentukan arah pada COP30 di Belém. Para pegiat lingkungan menekankan bahwa negara-negara penghasil emisi besar semakin tertinggal.
Andreas Sieber, Associate Director of Policy and Campaigns 350.org, mengatakan bahwa meskipun terdapat pergeseran yang menjanjikan dalam komitmen energi terbarukan, sebagian besar NDC masih gagal untuk mengatasi penyebab utama krisis iklim: bahan bakar fosil. “Bahan bakar fosil bertanggung jawab atas kurang lebih 75% dari krisis tersebut. Mereka adalah penyebab memanasnya planet kita,” ujar Sieber, seraya menambahkan bahwa eksportir bahan bakar fosil seperti Amerika Serikat, Kanada, Norwegia, dan Australia, yang berpotensi menjadi tuan rumah COP31, belum menunjukkan kepemimpinan dalam menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara bertahap dalam NDC yang telah diperbaharui.
Dari 149 negara yang diharapkan mengajukan pembaruan, baru 23 NDC yang diajukan hingga saat ini, 19 di antaranya menyertakan target energi terbarukan secara kuantitatif, sebuah peningkatan yang signifikan dari siklus sebelumnya. Delapan di antaranya menetapkan target lebih dari 75% listrik terbarukan. “Meskipun masih ada kekurangan, kita benar-benar dapat mengakui bahwa ada pergeseran kualitas dan itu adalah kabar baik,” kata Sieber. Namun, ia mengatakan bahwa kesenjangan ambisi secara keseluruhan masih besar, dan penghasil emisi terbesar masih belum ada.

Cosima Cassel, Pimpinan Program di E3G, menekankan risiko geopolitik akibat kelambanan. Ia mengatakan bahwa di tahun yang kritis ini, “hanya lima anggota G20 yang telah menyerahkan NDC mereka yang telah diperbaharui, sementara hampir 80% emisi global masih belum tercakup dalam rencana-rencana yang ada. Uni Eropa, Cina, dan pemain utama lainnya harus segera bertindak.”
Cassel menunjukkan bahwa sementara beberapa negara telah membuat kemajuan, seperti Inggris yang secara bertahap menghentikan penggunaan batu bara, negara lain mengalami kemunduran. “Jepang mengalami kemunduran. Beberapa negara juga telah membalikkan larangan eksplorasi bahan bakar fosil: Selandia Baru dan Amerika Serikat,” ujarnya.
Pengajuan NDC Uni Eropa yang tertunda dianggap sangat penting untuk mengkatalisasi momentum. Tanpa pengajuan sebelum tenggat waktu September, rencananya akan dikeluarkan dari laporan sintesis. “Uni Eropa tidak dapat melakukannya sendiri, dan membutuhkan momentum global untuk melindungi industri dan masyarakatnya, dan sinyal yang kuat ini, karena Uni Eropa adalah pemimpin iklim yang memproklamirkan diri sendiri,” ujar Cassel, dan mendesak Denmark untuk mengadakan Dewan Lingkungan Hidup darurat menjelang COP30.
Para pembicara mendesak negara-negara untuk memperlakukan NDC tidak hanya sebagai dokumen teknis, tetapi juga sebagai cetak biru investasi yang menandakan keamanan ekonomi jangka panjang dan ketahanan iklim. “Ini merupakan ujian kepemimpinan, tantangan iklim mempengaruhi semua orang dan kita perlu mengatur ulang nada dan bertindak segera serta menutup kesenjangan menjadi 1,5 dan melihat hal tersebut tercermin dalam NDC,” pungkas Cassel. (nsh)
Foto banner: Konferensi pers para ahli iklim di sela-sela pembicaraan iklim di Bonn, Jerman, 17 Juni 2025 (tangkapan layar siaran web UNFCCC)