CREA: RUPTL akan tingkatkan listrik dari energi fosil, langkah mundur transisi energi

Jakarta – Laporan terbaru dari Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) bertajuk “Indonesia’s RUPTL Outlines Faster Growth In Fossil Fuel Use, Downgrades Ambition For Clean Energy” mengungkap bahwa pembangkitan listrik dari batu bara dan gas diperkirakan meningkat hampir 40 persen, dari 285 terawatt hour (TWh) pada 2024 menjadi 406 TWh pada 2034.

Laporan yang dirilis Kamis, 12 Juni, dan ditulis oleh Analis CREA Katherine Hasan, dan Analis Utama Lauri Myllyvirta tersebut mengatakan bahwa ketergantungan yang semakin dalam pada batu bara dan ekspansi besar-besaran energi gas adalah langkah mundur dari transisi energi yang telah dicanangkan Indonesia.

Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang disusun oleh PT PLN (Persero) diindikasikan akan meningkatan ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil, khususnya batubara dan gas alam, dalam pasokan listrik nasional selama dekade mendatang. Temuan ini berpotensi menghambat laju transisi energi bersih dan memperburuk emisi karbon sektor ketenagalistrikan.

Lebih jauh, RUPTL terbaru juga mencatat kenaikan penggunaan energi fosil sebesar 10 persen dibanding proyeksi dalam RUPTL sebelumnya (2021–2030), yang memproyeksikan 367 TWh dari batubara dan gas pada 2030.

Perbandingan proyeksi kapasitas 10 tahun ke depan dengan target yang ditetapkan dalam RUPTL 2021-2030 sebelumnya dan RUPTL 2025-2034 yang baru (Sumber: CREA)

Ambisi energi bersih melemah

Meski mencantumkan penambahan kapasitas energi terbarukan, RUPTL 2025–2034 justru menunjukkan tren perlambatan dalam pengembangannya. Total kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ditargetkan hingga 2030 adalah 17 GW, lebih rendah dari target sebelumnya sebesar 20,9 GW untuk periode yang sama.

Target pengembangan pembangkit tenaga surya dan angin juga jauh dari ambisi yang dituangkan dalam rencana investasi transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP). RUPTL hanya menargetkan 10,6 GW energi surya dan angin hingga 2030—kurang dari setengah target JETP yang sebesar 24,3 GW.

CREA menyebut bahwa dokumen RUPTL terbaru menunjukkan “keraguan serius” pemerintah dalam mendorong energi terbarukan secara penuh. Target yang lemah ini secara nyata melemahkan komitmen Indonesia yang sudah dicapai susah payah lewat JETP. Bahkan, proyeksi produksi listrik dari batubara dan gas bertolak belakang dengan asumsi pengurangan bertahap yang diatur dalam JETP.

Selain membahayakan pencapaian target iklim, ketergantungan terhadap energi fosil juga menimbulkan risiko kesehatan masyarakat. Dalam analisisnya, CREA memperkirakan bahwa polusi udara dari PLTU (baik yang terhubung ke jaringan PLN maupun yang berdiri sendiri/captive) dapat menyebabkan hingga 303 ribu kematian secara kumulatif dan memicu biaya kesehatan sebesar USD 210 miliar jika tidak segera dihentikan secara bertahap.

CREA juga mengkritik ketiadaan rencana phase-out batubara dalam RUPTL ini, termasuk jadwal penghentian operasi untuk PLTU, baik yang terhubung ke jaringan nasional maupun captive.

Laporan tersebut mengatakan bahwa bila “untuk mencapai visi Presiden Prabowo untuk ‘masa depan bebas fosil dan mandiri pada tahun 2040’ diperlukan perubahan yang substansial dalam rencana jangka pendek RUPTL oleh PLN, membutuhkan adanya peta jalan penghentian penggunaan batubara yang jelas, akselerasi cepat dalam pembangunan dan penyebaran proyek energi terbarukan, terutama pada tahun-tahun kritis dari 2025 sampai 2029, dan yang terakhir namun paling penting, menjaga akuntabilitas PLN dalam pelaksanaan.”

CREA mendorong agar target energi terbarukan dalam RUPTL lebih ambisius dan konsisten dengan target iklim Indonesia serta jalur pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C. Menurut kalkulasi CREA, jika seluruh proyek energi bersih potensial sebesar 45 GW direalisasikan, Indonesia tidak hanya akan melampaui target dalam RUPTL saat ini, tetapi juga bisa kembali ke jalur transisi energi yang selaras dengan JETP. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles