CREA: Co-firing biomassa gagal memberikan keuntungan iklim yang nyata

Jakarta – Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dalam laporan terbarunya mengkritisi program pembakaran bersama (co-firing) biomassa di PLTU yang selama ini digadang-gadang sebagai bagian dari transisi energi hijau nasional. Menurut laporan yang dipublikasi Jumat, 30 Mei, selain pengurangan emisi yang sangat kecil, skema ini berpotensi melepas polutan berbahaya yang selama ini luput dari pengawasan regulasi.

Laporan CREA yang bertajuk “Biomass Co-Firing in Indonesia: Prolonging, Not Solving Coal Problem” menunjukkan bahwa penerapan co-firing hanya menurunkan emisi 1,5 hingga 2,4 persen dari total emisi PLTU. Sementara itu, polutan beracun seperti merkuri, karbon monoksida (CO), hidrogen sulfida (H₂S), hingga logam berat seperti arsenik (As) dan timbal (Pb) justru berpotensi meningkat akibat pembakaran biomassa tanpa pengawasan ketat.

“Temuan ʻCREAʼ menunjukkan bahwa pembakaran biomassa hampir tidak berdampak pada polusi udara yang disebabkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara, sehingga pengurangan polutan yang membahayakan kesehatan dapat diabaikan pada tujuan saat ini,” ujar Katherin Hasan, analis CREA.

Dalam RUPTL 2021-2023, skema co-firing dengan pembakaran sampai dengan 10 persen biomassa—seperti serbuk kayu, sekam padi, dan RDF (Refuse Derived Fuel)—ke dalam pembakaran batubara di PLTU ditargetkan diterapkan di 52 PLTU di seluruh Indonesia.

Namun, menurut CREA, penurunan emisi dari partikel halus (PM) hanya mencapai 9 persen, nitrogen oksida (NOx) turun 7 persen, dan sulfur dioksida (SO₂) hanya berkurang 10 persen. Angka ini dianggap terlalu kecil untuk menghadapi krisis kualitas udara nasional.

These inaccurate claims should serve as an entry point for a more rounded national discussion on air quality, which can only be improved when we recognise the urgency to map a retirement pathway assigned to all coal power plants in Indonesia – on-grid and captive.

Lebih berbahaya lagi, menurut Katherin, pembakaran biomassa dengan standar emisi berbeda dari batubara dapat menghasilkan senyawa beracun yang tidak diatur dalam ambang batas PLTU konvensional.

“Terlebih lagi, mitigasi emisi pada pembangkit listrik tenaga batu bara selama masa transisi hanya dapat diatasi dengan standar emisi yang ketat, yang akan memerlukan instalasi teknologi pengendalian polusi udara di semua PLTU,” tambahnya.

Klaim reduksi emisi dinilai tidak transparan

Salah satu kelemahan utama dalam kebijakan co-firing adalah kurangnya kuantifikasi komprehensif terkait emisi secara menyeluruh. Klaim pengurangan emisi sering kali hanya dihitung dari penurunan penggunaan batubara, tanpa mempertimbangkan emisi dari rantai pasok biomassa seperti pemanenan, pengeringan, pengolahan, dan transportasi.

“Masalah utama dari pembakaran bersama biomassa adalah para pemangku kepentingan nasional memandangnya sebagai solusi yang layak untuk memitigasi emisi bahan bakar fosil di Indonesia, dan bukannya benar-benar mengatasi akar permasalahan polusi udara atau memprioritaskan percepatan penggunaan sumber-sumber energi terbarukan,” ungkap Abdul Baits Swastika, peneliti CREA.

Ia menambahkan, tanpa audit dan verifikasi terbuka, klaim keberlanjutan co-firing ini perlu dipertanyakan dan peta jalan berbasis fakta untuk bioenergi harus disediakan.

Dampak ekonomi dan lingkungan dari pasokan biomassa

Dari aspek ekonomi, harga beli biomassa yang ditetapkan PLN hanya menjangkau bahan baku berkalori rendah dan murah, seperti limbah pertanian atau RDF, yang memiliki efisiensi rendah saat dibakar. Di sisi lain, pemenuhan pasokan biomassa dalam jangka panjang memicu dorongan ekspansi Hutan Tanaman Energi (HTE) di lahan skala besar.

Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Fiorentina Refani, mengungkapkan bahwa ekspansi ini mengancam kawasan hutan alam.

“Narasi keberlanjutan yang selama ini dilekatkan pada pembakaran biomassa hanyalah mitos belaka. … (produksi biomassa dalam skala masif akan) mengorbankan lingkungan, terutama hutan alam, untuk memenuhi permintaan pembangkit listrik,” tegasnya.

CELIOS mencatat bahwa biomassa yang tersedia saat ini tidak akan mampu mencukupi kebutuhan co-firing secara berkelanjutan tanpa ekspansi industri biomassa besar-besaran yang berisiko merusak lingkungan.

Dorongan untuk evaluasi total dan transisi nyata

Dalam konteks ini, CREA menyerukan evaluasi menyeluruh terhadap program co-firing dan mendesak adanya pemantauan serta pelaporan terbuka terhadap emisi yang dihasilkan.

Lebih lanjut, CREA mendorong penghentian bertahap PLTU dan percepatan transisi menuju energi terbarukan, termasuk pengembangan pembangkit bioenergi khusus yang dirancang dari awal dengan efisiensi tinggi dan pengawasan ketat.

Kritik terhadap program co-firing biomassa juga muncul dari pengamat energi internasional. Putra Adhiguna, Managing Director Energy Shift Institute, menyebut tren global menunjukkan penurunan dukungan terhadap biomassa sebagai sumber energi utama.

“Korea Selatan yang dilaporkan mengakhiri subsidi untuk biomassa adalah pertanda memudarnya dukungan secara global,” ujar Putra.

Ia menegaskan, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana Indonesia akan memperoleh biomassa secara berkelanjutan dan bagaimana biomassa tersebut dapat ditingkatkan, dengan mempertimbangkan biaya dan pasokan biomassa.

Di tengah tekanan krisis iklim dan urgensi pengurangan polusi udara, program co-firing biomassa kini dihadapkan pada pertanyaan mendasar: apakah benar strategi ini membawa Indonesia lebih dekat pada transisi energi bersih, atau justru menjadi ilusi hijau yang menunda perubahan nyata?

Dengan berbagai risiko dan data baru yang muncul, publik dan pembuat kebijakan dituntut untuk melihat lebih dalam, bukan hanya pada angka-angka pengurangan emisi, tetapi juga pada konsekuensi lingkungan, sosial, dan ekonomi jangka panjang dari setiap kebijakan energi yang diambil hari ini. (Hartatik)

Foto banner: PLTU Mulut Tambang Sumsel 8 di Desa Tanjung Lalang, Kecamatan Tanjung Agung, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan. (Sumber: PT Bukit Asam Tbk)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles