Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengapresiasi Lompatan signifikan dalam target energi terbarukan pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034. Dalam keterangannya, Rabu, 28 Mei, lembaga tersebut juga memberikan catatan kritis atas sejumlah aspek, mulai dari masuknya pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), hingga jarak antara target yang ditetapkan dengan komitmen iklim Indonesia dalam perjanjian internasional.
Dalam RUPTL terbaru yang disahkan Kementerian ESDM, pada hari Senin, porsi pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) ditetapkan sebesar 42,6 GW, atau setara 61% dari total kapasitas pembangkit baru. Tambahan lain mencakup 10,3 GW sistem penyimpanan energi, termasuk pumped hydro dan baterai.
Namun, selain EBT, masih ada alokasi untuk pembangkit bahan bakar fosil, yakni 10,3 GW berbasis gas dan 6,2 GW PLTU batu bara, termasuk 2,8 GW yang dijadwalkan tetap beroperasi setelah 2030.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyambut baik peningkatan kapasitas pembangkit EBT dibanding RUPTL sebelumnya. Ia menilai lonjakan ini sebagai sinyal positif bagi transisi energi. “Kapasitas EBT yang direncanakan meningkat signifikan, terutama energi surya yang mencapai 17,1 GW. Ini adalah langkah maju,” ujarnya.
Namun, Fabby juga menggarisbawahi bahwa target tersebut masih jauh dari komitmen Just Energy Transition Partnership (JETP) yang mencanangkan 56 GW kapasitas EBT pada 2030, dan belum mencukupi untuk memenuhi target batas pemanasan global 1,5°C sesuai Persetujuan Paris. “Target ini tidak cukup ambisius jika kita ingin mencapai puncak emisi sektor kelistrikan sebelum 2030. Masih banyak yang harus dikejar,” katanya.
Ancaman krisis listrik mengintai
IESR juga menyoroti persoalan mendasar dalam implementasi RUPTL sebelumnya. Fabby mengungkapkan bahwa dari rencana 10 GW pembangkit baru dalam RUPTL 2021–2030, hingga semester pertama 2025 hanya 1,6 GW yang berhasil beroperasi (COD).
“Salah satu faktor yang menghambat adalah ketidakmampuan PLN melakukan lelang skala besar secara cepat, serta proses negosiasi PPA yang bertele-tele,” tegas Fabby. “Hal ini mengancam realisasi EBT dan keamanan pasokan listrik nasional ke depan.”
Masuknya 0,5 GW pembangkit nuklir dalam RUPTL untuk pertama kalinya juga memicu kritik. Fabby menekankan bahwa belum ada keputusan resmi dari Presiden mengenai pembangunan PLTN, dan Indonesia belum memiliki kerangka hukum maupun infrastruktur yang memadai.
“PLTN bukan hanya mahal dan berisiko tinggi, tetapi juga belum ada regulasi operasional yang kuat, belum jelas teknologinya, serta minim penerimaan masyarakat,” katanya.
Selain nuklir, alokasi 10,3 GW pembangkit berbasis gas juga dianggap berisiko. Ketergantungan berlebihan terhadap gas dinilai rentan terhadap fluktuasi harga dan pasokan, apalagi saat ini PLN sendiri sudah kesulitan memenuhi kebutuhan gas untuk operasional.
“Kalau permintaan gas naik dua-tiga kali lipat, PLN akan menghadapi krisis energi. EBT lebih rendah risiko dan lebih terjangkau untuk jangka panjang,” kata Fabby.
RUPTL juga mencatat adanya partisipasi produsen listrik swasta (IPP) dengan potensi investasi senilai Rp1.341,8 triliun untuk pengembangan EBT. Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, menyatakan bahwa kajian lembaganya menemukan potensi 333 GW energi terbarukan di Indonesia yang layak finansial.
“Sekitar 60% dari potensi itu memiliki EIRR di atas 10% jika menggunakan tarif dari Perpres 112/2022. Ini sangat menarik bagi investor,” ungkap Deon.
Ia menambahkan, selain melalui skema pengadaan PLN, perlu ada regulasi yang mempercepat akses ke jaringan transmisi (PBJT). Hal ini akan memperluas opsi pengembangan EBT, sekaligus membuka peluang bagi konsumen dan sektor swasta.
“Kepastian terhadap PBJT akan membantu PLN mengelola pengembangan jaringan dan mempercepat pencapaian atau bahkan melampaui target RUPTL,” pungkasnya.
Menutup catatan mereka, IESR mendorong pemerintah untuk mempercepat reformasi regulasi dan skema tarif, memperkuat kapasitas PLN, serta menyusun jadwal lelang pembangkit yang terstruktur dan transparan.
“Peluang membangun sistem energi bersih dan terjangkau terbuka lebar. Tapi tanpa eksekusi yang serius, RUPTL hanya akan jadi rencana di atas kertas,” tandas Fabby Tumiwa. (Hartatik)
Foto banner: liyuhan/shutterstock.com