Jakarta – Indonesia perlu memobilisasi beragam sumber pendanaan iklim mengingat kebutuhan negara ini akan pendanaan iklim yang sangat besar, dan juga dalam rangka mempercepat pengembangan proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia, demikian menurut Infrastructure Asia.
Lavan Thiru, Direktur Eksekutif Infrastructure Asia (InfraAsia) yang berbasis di Singapura mengatakan kepada tanahair.net dalam sebuah wawancara tertulis bahwa Indonesia bertujuan untuk menambah kapasitas energi terbarukan sebesar 75 GW dalam 15 tahun ke depan, termasuk tenaga surya, air, panas bumi, dan tenaga nuklir, sebagai bagian dari agenda pengembangan energi ramah lingkungan yang lebih luas.
Untuk mendukung upaya-upaya ini, Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) menyetujui pinjaman sebesar USD500 juta di bawah Program Transisi Energi Berkeadilan, yang berfokus untuk mengurangi ketergantungan terhadap batu bara dan membangun kerangka kerja regulasi yang kuat untuk energi bersih.
“Namun, Indonesia perlu meningkatkan transisi energi bersihnya secara signifikan,” ujar Lavan Thiru.
Ia mengutip laporan Kearny baru-baru ini, yang memperkirakan bahwa Indonesia akan membutuhkan sekitar USD2,4 triliun dari tahun 2022 hingga 2060 untuk bertransisi ke energi terbarukan dan memenuhi target nol emisinya.
Rencana pengembangan energi terbarukan sebesar 75 GW sejalan dengan target nol emisi di tahun 2060. Selain itu, pemerintah saat ini telah menyatakan bahwa mereka memprioritaskan investasi pada proyek-proyek yang tahan iklim dan berkelanjutan.
Dia mencatat bahwa di bawah pemerintahan Prabowo, area fokus utama termasuk meningkatkan sistem irigasi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan memperkuat pengelolaan sumber daya air dan limbah.
Transisi energi juga merupakan prioritas utama, dengan upaya yang difokuskan pada pengembangan solusi energi hijau dan pengurangan emisi karbon.
“Meskipun minat investasi terhadap energi terbarukan dan dekarbonisasi terus meningkat, ketidakpastian peraturan dan kebijakan masih menjadi hambatan utama. Pemerintah dan lembaga keuangan memainkan peran penting dalam menetapkan standar yang jelas dan bekerja sama untuk memastikan bahwa profil risiko-pengembalian tetap menarik bagi investor dan pemodal,” katanya.
“Mengembangkan kerangka kerja yang dapat diterima, seperti taksonomi dan dokumen pinjaman yang terstandardisasi, dapat membantu mengurangi hambatan terhadap investasi infrastruktur yang berkelanjutan,” tambahnya.
Ia menambahkan bahwa kerangka kerja peraturan yang terus berkembang, terutama di bidang energi terbarukan dan pasar karbon, dapat menimbulkan ketidakpastian bagi para investor. Persyaratan yang berat ditambah dengan pergeseran ke sistem ‘deliver-or-pay’ semakin membatasi kepentingan sektor swasta.
Selain itu, penerapan tarif batas atas dan persyaratan kandungan lokal yang tinggi (LCR), terutama ketika rantai pasokan dalam negeri tidak dapat dikembangkan, meningkatkan biaya proyek, sementara proses yang tidak jelas dalam memperoleh izin tidak terhindarkan meningkatkan risiko investor, ujarnya.
Transisi energi dan peran sektor swasta
Pemerintah Indonesia telah mengambil beberapa langkah yang menggembirakan untuk memobilisasi partisipasi sektor swasta guna mendukung tujuan transisi energi. Langkah-langkah tersebut termasuk melonggarkan persyaratan kandungan lokal (LCR) untuk menarik pendanaan lunak dari bank-bank pembangunan internasional untuk proyek-proyek energi terbarukan dan pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan. Indonesia juga meluncurkan inisiatif Green Energy as a Service (GEAS) sebagai bagian dari komitmennya untuk menyediakan listrik bersih dari pembangkit listrik energi terbarukan.
Upaya-upaya ini, ditambah dengan pengenalan perdagangan karbon internasional melalui IDX Carbon, menunjukkan komitmen Indonesia terhadap transisi energi.
“Kami mengamati bahwa salah satu praktik terbaik untuk menarik modal swasta dalam infrastruktur berkelanjutan adalah penjajakan pasar. Proses ini melibatkan keterlibatan proaktif dengan para pemangku kepentingan sektor swasta – seperti investor, pengembang, dan pemodal – sebelum meluncurkan proyek infrastruktur,” katanya.
Tujuannya adalah untuk menyelaraskan ekspektasi antara sektor publik dan swasta, memastikan bahwa proyek-proyek tersebut layak secara komersial, dapat didanai oleh bank, dan terstruktur untuk menarik penawaran yang kompetitif.
InfraAsia mengatakan melalui Asia Infrastructure Forum (AIF), lembaga ini telah menjadi platform bagi para mitranya untuk mempresentasikan proyek-proyek infrastruktur yang akan datang dan mendorong umpan balik dari industri terkait struktur proyek, model pembiayaan, dan hambatan regulasi atau pasar sebelum tender proyek.
“Pada AIF 2024, kami menampilkan total 12 proyek dari Indonesia di berbagai sektor seperti energi terbarukan, pengelolaan limbah dan air, serta infrastruktur sosial,” katanya.
Ia mengatakan bahwa “kolaborasi akan menjadi kunci utama agar proyek-proyek infrastruktur berkelanjutan atau proyek-proyek yang berkaitan dengan iklim dapat berhasil. Keberhasilan transisi Indonesia menuju ekonomi rendah karbon bergantung pada dukungan tersebut, selain eksekusi teknis, pembiayaan jangka panjang, dan kerangka kerja kebijakan yang kuat.
Hal ini juga menjadi alasan mengapa InfraAsia mengadvokasi kemitraan publik-swasta yang lebih dalam. Akan sulit bagi pembiayaan publik untuk mendanai rencana transisi listrik dan energi di Indonesia secara sendirian. Memobilisasi modal, teknologi, dan keahlian operasional dari sektor swasta akan sangat penting untuk mempercepat penyebaran proyek-proyek energi terbarukan yang dapat didanai oleh bank-entah itu tenaga surya, tenaga air, atau jaringan mikro.
Terakhir, tidak ada transisi energi tanpa transmisi. Ia mengatakan bahwa salah satu tantangan dari energi terbarukan adalah bahwa energi tersebut tidak dapat dikonsumsi di tempat di mana energi tersebut dihasilkan. Oleh karena itu, jaringan transmisi dan distribusi yang efektif sangat penting, terutama untuk negara kepulauan seperti Indonesia. (Roffie Kurniawan)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)
*Pembaruan 28 Mei 2025, 17:47: Memperbaiki judul menjadi Infrastructure Asia, mengedit nama perusahaan InfraAsia