Jakarta – Para pengamat menilai China berpotensi besar mengambil peran sebagai mitra utama dalam mendorong pembiayaan transisi energi, di tengah stagnasi komitmen iklim negara-negara maju. Dukungan ini diprediksi akan makin menguat melalui skema kerja sama Belt and Road Initiative (BRI) yang selama ini menjadi andalan ekspansi ekonomi dan energi China di kawasan global selatan.
Menurut Saffanah R Azzahrah, peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dalam diskusi daring bertajuk “Mendorong Kolaborasi Selatan-Selatan dalam Aksi Iklim”, Kamis, 8 Mei, posisi China saat ini semakin strategis dalam pembiayaan iklim global, seiring capaian dalam pengembangan energi terbarukan yang menembus 1.200 GW—jauh melampaui target nasional mereka.
“Melihat keberhasilan China mendorong energi terbarukan secara masif, kita bisa belajar dan memanfaatkan peluang kolaborasi dengan mereka, khususnya melalui BRI,” ujar Saffanah.
Indonesia menjadi salah satu penerima terbesar investasi BRI di kawasan Asia Tenggara. Data historis menunjukkan, total pembiayaan China ke Indonesia diperkirakan mencapai USD2,1–9,3 miliar per tahun, dan secara kumulatif bisa menyentuh USD14,7–65,1 miliar selama 2024–2030.
Dari angka itu, porsi investasi untuk sektor energi secara khusus berada pada kisaran USD490–900 juta per tahun, atau sekitar USD3,4–6,3 miliar untuk periode tujuh tahun ke depan.
“Jika diarahkan secara tepat, dana ini bisa menopang sebagian besar kebutuhan transisi energi di Indonesia, baik untuk pembangkit variabel seperti surya dan angin, maupun pembangkit terkendali seperti panas bumi dan bioenergi,” kata Tata Mustasya, Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN).
Meski demikian, tantangan utama tetap ada di sisi pembiayaan. Untuk mencapai target bauran energi terbarukan 23% pada 2025 dan 34% pada 2030, pemerintah Indonesia membutuhkan dana hingga USD146 miliar per tahun pada periode 2025–2030. Namun, pada tahun 2023, realisasi investasi energi bersih baru mencapai USD1,5 miliar—sangat jauh dari kebutuhan.
“Kolaborasi dengan China menjadi peluang konkret untuk menutup kesenjangan investasi. Namun, transparansi dan kesesuaian dengan prinsip keberlanjutan tetap harus dijaga,” tegas Tata.
Isu kehutanan jadi sorotan tambahan
Selain sektor energi, perhatian juga ditujukan pada bagaimana investasi China memengaruhi sektor kehutanan di Indonesia. Aktivitas industri kehutanan—yang sering kali melibatkan perusahaan modal asing—dinilai masih jauh dari prinsip keberlanjutan dan menimbulkan konflik sosial-lingkungan.
Woro Supartinah, Direktur Lembaga Pemberdayaan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (LPESM) Riau, menekankan pentingnya perbaikan tata kelola kehutanan dalam konteks investasi.
“Industri kehutanan punya catatan kelam dalam kerusakan lingkungan dan konflik sosial. China sebagai investor besar perlu mematuhi regulasi lokal dan mendorong transformasi ke arah investasi hijau,” jelasnya.
Menurut Woro, kebijakan investasi hijau harus diterapkan menyeluruh—baik untuk korporasi, lembaga keuangan, maupun sistem pendukung industri.
Pergeseran dukungan iklim dari negara-negara utara ke selatan membuka peluang baru bagi Indonesia untuk mengkonsolidasikan sumber daya, baik politik maupun finansial. Dalam konteks ini, China dinilai bukan hanya sebagai penyandang dana, tetapi juga sebagai mitra strategis yang bisa mempercepat transformasi sistem energi nasional.
Dengan pendekatan kolaboratif dan pengawasan tata kelola yang ketat, investasi China di bawah BRI berpotensi memperkuat agenda iklim Indonesia dan menjawab tantangan struktural dalam pembiayaan transisi energi. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2025)