Yogyakarta – Transisi menuju energi bersih bukan tanpa risiko. Sejumlah peneliti dari berbagai negara mengingatkan bahwa pengembangan proyek energi terbarukan di negara-negara Global South, termasuk Indonesia, dapat memicu konflik sosial apabila dilakukan tanpa pelibatan masyarakat lokal secara aktif dan bermakna.
Peringatan ini mengemuka dalam forum internasional bertajuk “Polarization and Its Discontents in the Global South: Mitigation Measures, Strategies, and Policies” yang diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) di Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 25–26 April 2025.
Menurut para peneliti, pendekatan teknokratis dan elitis yang dominan dalam kebijakan transisi energi justru mengabaikan realitas sosial dan kultural masyarakat di wilayah proyek. Alhasil, konflik horizontal dan vertikal menjadi sulit dihindari.
“Wacana elit dalam transisi energi hanya menyoroti soal pengganti energi fosil ke energi terbarukan, tapi lupa bahwa bagi masyarakat lokal, energi terkait dengan tanah, air, udara, dan relasi sosial mereka,” ujar Samsul Maarif, anggota Majelis Konsorsium ICRS.
Ia menegaskan, jika masyarakat lokal hanya diposisikan sebagai objek kebijakan, maka gagasan transisi energi berkeadilan hanya akan menjadi slogan kosong.
Kasus Sumedang: “Energi Bersih” yang merampas ruang hidup
Salah satu studi kasus yang diangkat dalam diskusi tersebut adalah proyek panas bumi di Gunung Tampomas, Sumedang, Jawa Barat. Penetapan wilayah itu sebagai Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) justru menjadi sumber ketegangan sosial antara masyarakat dan pemerintah.
Dalam film dokumenter “Di Bawah Bayang-Bayang Mata Bor” yang diputar dalam forum, warga menceritakan dampak langsung dari proyek tersebut. Eme, warga Desa Cilangkap, menyatakan pemerintah menyebutnya energi bersih.
“Tapi kami kehilangan sumber air, sawah, dan hutan adat. Ini tetap bentuk perampasan ruang hidup.”
Kondisi serupa juga terjadi di Toraja. Chelsea, warga setempat, menuturkan bahwa proyek eksplorasi panas bumi dilakukan secara tiba-tiba tanpa sosialisasi yang layak.
“Masyarakat kaget. Tiba-tiba ada yang masuk kampung bawa alat berat. Kami tidak tahu apa-apa karena yang diajak hanya pemerintah setempat, bukan kami yang tinggal di sini,” ujarnya.
Ancaman polusi dan kesehatan
Lebih dari sekadar ketidakterlibatan, beberapa proyek bahkan membawa risiko kesehatan. Warga dari berbagai daerah seperti NTT, Sulawesi Selatan, dan Sumatera melaporkan dampak buruk dari kebocoran gas hidrogen sulfida (H₂S), termasuk kasus keracunan dan kematian.
“Proyek ini seharusnya jadi solusi, tapi malah menyebabkan krisis air, pencemaran, bahkan membunuh,” kata salah satu peserta forum.
Al Ayubi, Policy Strategist dari CERAH, menegaskan bahwa keberlanjutan proyek energi bersih sangat bergantung pada partisipasi publik.
“Transisi energi harus bersih, adil, dan inklusif. Kalau masyarakat lokal tak dilibatkan, proyek bukan hanya bisa gagal, tapi juga menambah ketimpangan sosial,” ujarnya.
Ayubi mengingatkan bahwa konflik yang berulang bisa membuat proses konstruksi proyek molor atau bahkan batal. Kondisi ini mengancam kelangsungan program energi nasional dan memperlambat pencapaian target transisi energi.
Forum internasional ini menekankan bahwa keberhasilan transisi energi tidak hanya ditentukan oleh aspek teknologi dan ekonomi. Keadilan sosial, ekologis, dan budaya harus menjadi landasan utama dalam penyusunan kebijakan energi.
Para peserta forum merekomendasikan pelibatan masyarakat lokal dan adat sejak tahap perencanaan proyek, transparansi dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan, pengakuan atas nilai-nilai budaya dan ekologis di kawasan proyek serta perlindungan atas hak atas tanah, air, dan lingkungan hidup. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)