Trump Keluar dari Paris Agreement, IESR Minta Indonesia Tetap Optimis Transisi Energi

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) menegaskan bahwa Indonesia harus tetap optimis dan melanjutkan komitmen dalam mencapai net-zero emissions (NZE) 2060 atau lebih cepat, meski Amerika Serikat menarik diri dari Paris Agreement.

Keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menarik kembali negaranya dari kesepakatan iklim dunia ini yang dapat memengaruhi dinamika pendanaan transisi energi, memicu berbagai reaksi global, termasuk di Indonesia.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam siaran pers Senin, 3 Februari, menekankan bahwa kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) tidak sepenuhnya bergantung pada AS. “JETP bukan hanya tentang Amerika Serikat. Kemitraan ini melibatkan banyak negara dan lembaga pendanaan internasional yang tetap berkomitmen mendukung transisi energi di Indonesia,” ujar Fabby.

Menurutnya, keputusan Trump tidak boleh menjadi alasan bagi Indonesia untuk melemahkan komitmen terhadap transisi energi. “Pemerintah harus tetap berpegang teguh pada rencana transisi energi yang telah disusun, termasuk target bauran energi terbarukan sebesar 34 persen pada 2030 dan puncak emisi 290 juta ton CO₂ di tahun yang sama,” tegasnya.

Pendanaan JETP tetap berjalan

Fabby membantah anggapan bahwa JETP mengalami kegagalan akibat tidak adanya pencairan dana. Berdasarkan data IESR, hingga Desember 2024, negara-negara dalam International Partners Group (IPG) telah menyalurkan hibah dan bantuan teknis (TA) sebesar USD 230 juta untuk 44 program, serta USD 97 juta untuk 11 program lainnya yang masih dalam proses persetujuan.

Selain itu, USD 1 miliar telah dialokasikan untuk investasi ekuitas dan pinjaman dalam delapan proyek, salah satunya adalah PLTP Ijen yang menerima pembiayaan USD 126 juta dari International Development Finance Corporation (DFC), lembaga pendanaan milik pemerintah AS. “Masih ada dana USD 5,2 hingga 6,1 miliar yang tengah diproses untuk 19 proyek transisi energi, serta USD 2 miliar dalam bentuk jaminan proyek dari pemerintah Inggris dan AS,” ungkap Fabby.

Menurutnya, pendanaan ini menunjukkan bahwa inisiatif transisi energi Indonesia tetap berjalan meskipun ada perubahan kebijakan di AS.

Untuk memastikan transisi energi tetap pada jalurnya, Fabby mengusulkan beberapa langkah yang perlu segera diambil pemerintah, antara lain melanjutkan Satgas Transisi Energi Nasional (TEN) yang sebelumnya dipimpin oleh Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Marves) guna mengoordinasikan implementasi JETP dan program transisi energi lainnya.

Lalu mempercepat reformasi kebijakan yang masih menghambat percepatan pengembangan energi terbarukan di Indonesia, menyelaraskan target JETP dalam dokumen perencanaan energi nasional, seperti Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Kemudian menuntaskan pensiun dini PLTU Cirebon I dengan skema Energy Transition Mechanism (ETM), yang sudah dalam pembahasan selama tiga tahun.

“Transisi energi adalah kunci bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, seperti yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Jika Indonesia ingin mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang diusung Presiden Prabowo, maka kita memerlukan energi yang lebih bersih dan berkelanjutan,” ujar Fabby.

IESR juga menyoroti manfaat besar yang bisa diperoleh Indonesia jika mempercepat pensiun dini PLTU batubara. Berdasarkan kajian mereka, penghentian PLTU sebelum 2040 dapat menghemat subsidi listrik hingga USD 34,8 miliar dan menekan biaya kesehatan akibat polusi hingga USD 61,3 miliar.

“Menunda transisi energi justru akan menjadi bunuh diri ekonomi. Negara-negara Asia Tenggara lainnya sudah lebih dulu beralih ke energi terbarukan, dan jika kita tertinggal, investasi asing di sektor manufaktur, digital, dan industri pengolahan bisa beralih ke negara lain,” tegas Fabby.

IESR menyambut baik pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam pertemuan APEC dan G20, yang menegaskan keinginan Indonesia untuk mencapai 100 persen energi terbarukan sebelum 2050.

Fabby berharap pemerintah segera mengimplementasikan arahan ini dalam perencanaan kelistrikan nasional. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan wacana. Pemerintah harus segera menginstruksikan kementerian terkait untuk membuat langkah konkret demi memastikan transisi energi berjalan sesuai rencana,” pungkasnya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles