Tanaman sukun lebih adaptif dibanding biji-bijian yang rentan perubahan iklim

Jakarta – Sejumlah tanaman pokok pangan dan biji-bijian seperti beras, jagung dan kedelai sangat rentan terdampak perubahan iklim, menurut peneliti Northwestern University, Jumat (19/8). Suhu udara yang sangat panas akan mengakibatkan beberapa tanaman biji-bijian itu kesulitan bertahan dan hasil panennya menurun padahal sumber pangan tersebut menjadi andalan konsumsi global.

Penelitian Universitas Northwestern terhadap buah sukun (Artocarpus communis Forst), menunjukkan bahwa buah sukun yang kaya nutrisi dan endemik di Indonesia relatif tahan terhadap perubahan iklim, sehingga berpotensi menjadi sumber pangan masa depan.

“Selain memiliki daya tahan terhadap perubahan iklim, tanaman sukun juga sangat cocok untuk tumbuh di daerah yang mengalami kerawanan pangan tingkat tinggi sehingga bisa menjadi bagian dari solusi untuk krisis pangan global,” ungkap Daniel Horton dari Northwestern University, penulis senior studi tersebut dalam keterangan tertulis.

Adapun hasil studi tersebut terpublikasi di PLOS Climate. Menurutnya, sukun adalah spesies yang diabaikan dan kurang dimanfaatkan, padahal relatif tangguh dalam proyeksi perubahan iklim. “Temuan ini menjadi kabar. Saat kami menerapkan strategi untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, sukun harus dipertimbangkan dalam ketahanan pangan,” katanya.

Horton merupakan asisten profesor ilmu Bumi dan planet di Northwestern’s Weinberg College of Arts and Sciences dan memimpin Climate Change Research Group. Sementara yang menjadi penulis pertama makalah ini adalah Lucy Yang, mantan mahasiswa di laboratorium Horton. Dalam penelitian ini, Horton dan Yang bekerja sama dengan ahli sukun Nyree Zerega, Direktur Program Biologi dan Konservasi Tumbuhan dari Chicago Botanic Garden.

Selain kaya karbohidrat, makanan kaya nutrisi ini juga tinggi serat, vitamin, dan mineral. Di kawasan tropis, orang telah memakan sukun selama ribuan tahun, baik dikukus, dipanggang, digoreng, atau difermentasi. Sukun juga dapat diubah menjadi tepung untuk memperpanjang umur simpan.

Menurut Zerega, pohon sukun bisa hidup puluhan tahun dan menghasilkan buah dalam jumlah besar setiap tahun. “Bahkan beberapa budaya ada tradisi menanam pohon sukun ketika seorang anak lahir untuk memastikan anak itu akan memiliki makanan selama sisa hidupnya.”

Lebih lanjut, dalam kajian ini, para peneliti ingin melihat pengaruh peningkatan suhu dan perubahan iklim pada kemampuan sukun untuk tumbuh. Para peneliti terlebih dahulu menentukan kondisi iklim yang diperlukan untuk membudidayakan sukun. Kemudian, mereka melihat bagaimana kondisi ini diprediksi akan berubah di masa depan, antara tahun 2060 dan 2080.

Untuk proyeksi iklim di masa depan, mereka melihat dua skenario, yaitu skenario yang mencerminkan emisi gas rumah kaca yang tinggi dan skenario yang di mana emisi relatif stabil. Dalam kedua skenario, sebagian besar wilayah yang cocok untuk budidaya sukun tetap tidak terpengaruh. Sekalipun demikian, di daerah tropis dan subtropis, area yang cocok untuk menanam sukun berkurang 4,4-4,5 persen.”Meskipun fakta bahwa iklim akan berubah secara drastis di daerah tropis, iklim tidak diproyeksikan untuk menyebabkan sukun menjadi sulit tumbuh dan berkembang,” kata Yang.

Walaupun sukun saat ini dikenal dari Kepulauan Pasifik, sejumlah studi lain menyebutkan tanaman ini justru berasal dari wilayah Malaysia dan Indonesia.

Di Indonesia, tanaman sukun terdapat di hampir semua kawasan dan dikenal dengan berbagai nama lokal, seperti suune (Ambon), amo (Maluku Utara), kamandi, urknem, atau beitu (Papua), karara (Bima, Sumba dan Flores), susu aek (Rote), naunu (Timor), hatopul (Batak), dan baka atau bakara (Sulawesi Selatan). (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles