Jakarta – Kelompok G77+Tiongkok mendorong pembentukan kerangka kerja untuk tujuan adaptasi global. Negosiasi kelompok ini di COP28 Dubai, Uni Emirat Arab, dipimpin oleh Suriname.
Keputusan ini berasal dari program Glasgow–Sharm el-Sheikh selama dua tahun (2022-2023) untuk tujuan adaptasi global. Koordinator utama kelompok negosiasi ini, Tiffany Van Ravenswaay dari Kementerian Perencanaan Tata Ruang dan Lingkungan Hidup (ROM), dalam keterangan tertulis melalui Climate Tracker mengatakan bahwa “Program ini dengan jelas menunjukkan perlunya kerangka kerja yang dapat menjadi panduan global untuk mencapai tujuan adaptasi.”
Dalam Pasal 7 Perjanjian Paris mendefinisikan tujuan adaptasi global. Ada tiga pilar penting yang disebutkan yakni meningkatkan kapasitas adaptasi, mendorong ketahanan, dan mengurangi kerentanan terhadap dampak buruk perubahan iklim.
Menurutnya, kerangka kerja tersebut perlu memiliki indikator berbeda dalam bidang tematik, seperti ekosistem, kesehatan dan kesejahteraan, ketahanan pangan dan infrastruktur. Ia juga menunjukkan bahwa penting bagi kelompok perundingan G77+Tiongkok agar berbagai negara dapat menentukan sendiri indikator mana yang memiliki prioritas tertinggi untuk negaranya masing-masing.
Indikator spesifik juga akan dibatasi waktu. Lebih jauh lagi, kerangka kerja ini akan dikaitkan dengan inventarisasi global sehingga kemajuan menuju target adaptasi dapat dianalisis dan dilacak.
Ia juga menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan yang besar dalam pendanaan adaptasi perubahan iklim global saat ini. Bahkan jika pendanaan untuk adaptasi yang tersedia saat ini berlipat ganda, hal ini hanya akan menutup kesenjangan sebesar 5 hingga 10%. Oleh karena itu, lanjutnya, penting untuk menyediakan sumber daya keuangan.
“Kalau mitigasinya, kita punya target 1,5 derajat. Namun mengenai adaptasi, masih belum ada pedoman jelas mengenai apa yang ingin dicapai oleh dunia. Itulah mengapa kerangka kerja ini sangat penting. Hal ini juga akan memastikan bahwa kita dapat melacak kemajuan dalam tiga pilar adaptasi,” kata Van Ravenswaay.
Sementara itu, Presiden Tiongkok Xi Jinping tidak hadir dalam KTT perubahan iklim tahun ini. Sebuah perbedaan yang menarik karena Tiongkok, bersama dengan Amerika Serikat, Presiden Joe Biden juga tidak hadir. Padahal kedua Negara ini diketahui sebagai pencemar iklim terbesar di dunia. Van Ravenswaay menjelaskan bahwa meskipun Tiongkok tidak hadir secara politik, negara tersebut hadir dalam negosiasi teknis kelompok G77+Tiongkok untuk mendorong agenda iklim Tiongkok. (Hartatik)
Foto banner: Panelis di atas panggung pada panel Penghapusan Emisi Metana 2030 selama Konferensi Perubahan Iklim PBB COP28 di Expo City Dubai. (Sumber: COP28/Mahmoud Khaled)