Jakarta – Pengamat kebijakan publik Agus Pambagyo menilai penghentian empat pembangkit listrik bertenaga batubara (PLTU) belum ampuh mengurangi polusi udara. Menurutnya, sektor transportasi yang menurut banyak penelitian menyumbang sampai dengan 44% dari polusi di Jakarta perlu disikapi dengan serius.
Menteri BUMN, Erick Thohir mengatakan bahwa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara Suralaya 1, 2, 3, dan 4 sudah dimatikan, sebagai salah satu upaya mengatasi masalah polusi udara di DKI Jakarta dan sekitarnya.
CNBC Indonesia melaporkan bahwa PLN mengurangi operasional PLTU Suralaya sebanyak 4 unit atau sebesar 1.600 Megawatt (MW) sejak 28 Agustus. Kendati demikian, menurut Erick langkah tersebut belum secara signifikan mengurangi buruknya polusi udara.
Kualitas udara terpantau membaik pada 4 September siang atau saat diberlakukan work from home (WFH) dan rekayasa lalu lintas. Agus mengatakan ini membuktikan pengaruh kebijakan tersebut berdampak positif, dan meminta pemerintah untuk solusi strategis yang tepat.
Merujuk pada data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), PLTU yang menggunakan batubara sebagai bahan bakar adalah salah satu penyumbang terbesar polusi udara di Jakarta, menyumbang sekitar 31% dari polusi udara setelah sektor transportasi yang menyumbang sebanyak 44%.
Erick Thohir menekankan bahwa ketika PLTU di Jawa dimatikan, perlu ada kesepakatan untuk menggantikan pasokan listrik, terutama dengan sumber energi terbarukan yang memiliki sistem beban dasar seperti PLTU. Salah satu solusi yang diusulkan adalah dengan memanfaatkan pembangkit geothermal.
Dalam rangka mendukung penggantian sumber energi, pemerintah mendorong PT Pertamina (Persero) untuk mengakuisisi aset-aset geothermal yang dimiliki oleh PT PLN (Persero) dan Kementerian Keuangan, khususnya PT Geo Dipa Energi. Selain itu, Erick telah mengirim surat kepada Menteri ESDM Arifin Tasrif dan Presiden Joko Widodo untuk mentransfer aset-aset tenaga listrik di Papua kepada PLN. (Hartatik)