Jakarta – Perusahaan bahan bakar fosil masih belum optimal dalam berkontribusi pada upaya membatasi kenaikan suhu global, yang menjadi fokus utama untuk mencegah bencana iklim, menurut laporan terbaru dari Badan Energi Internasional (IEA).
Laporan tersebut mengungkapkan bahwa investasi perusahaan-perusahaan ini pada minyak dan gas masih dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan investasi pada energi terbarukan yang bersahabat dengan lingkungan.
Menurut IEA, sektor energi fosil hanya menyumbang 1% dari total investasi global pada energi ramah lingkungan. Laporan khusus ini dirilis seminggu sebelum dimulainya Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (COP 28) di Dubai pada 30 November 2023.
IEA mendorong industri minyak dan gas untuk menunjukkan komitmen nyata dengan menyeimbangkan investasinya antara energi ramah lingkungan dan bahan bakar fosil. Direktur Eksekutif IEA, Fatih Birol menyatakan bahwa industri energi fosil berada pada “momen yang tepat” untuk membuat keputusan besar mengenai perannya dalam menghadapi krisis iklim. Meskipun dampak buruk krisis iklim semakin terasa, industri ini terus beroperasi tanpa tanggung jawab sosial dan lingkungan.
IEA menegaskan bahwa jika pemerintah memenuhi janji energi dan iklim nasionalnya, permintaan bahan bakar fosil bisa turun hingga 45% pada 2050.
“Jika kebijakan iklim dipercepat untuk mencapai tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celsius, penggunaan bahan bakar fosil bahkan bisa menurun lebih dari 75% pada tahun yang sama,” ungkap Birol dalam keterangan resmi.
Birol menyebut bahwa meningkatnya kemarahan masyarakat terhadap industri bahan bakar fosil dapat dipahami seiring dengan kesadaran akan hubungan antara peristiwa cuaca ekstrem dan emisi karbon. Dia menekankan pentingnya industri ini menunjukkan komitmen mereka, terutama dalam menghadapi tekanan publik.
Menurut IEA, perusahaan minyak dan gas hanya mengalokasikan sekitar 2,5% dari modalnya untuk teknologi energi ramah lingkungan, seperti energi terbarukan dan kendaraan listrik, sementara 97,5% tetap pada bisnis tradisional.
IEA menyarankan agar pembagian ini setidaknya harus 50% untuk energi bersih, dan perusahaan harus mengambil langkah-langkah untuk mengurangi emisi dari produksi bahan bakar fosil mereka.
Dalam lima tahun terakhir, perusahaan minyak dan gas melaporkan pendapatan tahunan hampir USD 3,5 triliun, dengan lonjakan besar pada tahun 2022. Tahun lalu, perusahaan minyak dan gas melaporkan pendapatan tahunan sebesar USD 4 triliun, naik dari rata-rata USD 1,5 triliun beberapa tahun belakangan ini, menurut Birol sebagaimana dikutip Reuters. Menurutnya, negara-negara ini tidak lagi bisa menggantungkan ekonominya 90% dari minyak dan gas karena permintaan akan turun.
Sekitar setengah dari pendapatan ini dibayarkan kepada pemerintah dan 40% dikembalikan ke investasi. Meskipun demikian, IEA mencatat bahwa hanya sekitar 10% yang tersisa untuk pemegang saham atau pembayaran utang. (Hartatik)