Komitmen lindungi ozon, Indonesia segera berlakukan Amandemen Kigali

Jakarta – Pemerintah Indonesia akan memberlakukan Amandemen Kigali mulai bulan Maret, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hari ini. Indonesia meratifikasi Amandemen Kigali pada Protokol Montreal terkait upaya mengurangi konsumsi hidrofluorokarbon atau HFC dan meningkatkan efisiensi energi.

Amandemen Kigali ini akan diberlakukan pemerintah mulai 14 Maret 2023, atau sembilan puluh hari setelah penerimaan instrumen ratifikasi oleh lembaga penyimpanan (depositary) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak 14 Desember 2022.

“Langkah ini membuktikan komitmen pemerintah untuk tetap melindungi lapisan ozon dan upaya penurunan emisi gas rumah kaca,” ujar Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Laksmi Dhewanthi dalam keterangan tertulisnya.

Senyawa HFC dapat mengeluarkan emisi gas rumah kaca (GRK) puluhan hingga ribuan kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida. Menurut Laksmi, pengendalian konsumsi HFC akan turut mengurangi potensi pemanasan global dan mencegah kenaikan suhu bumi sampai 0,4 derajat Celsius.

Laksmi menyampaikan, nilai potensi pemanasan global (GWP) dari berbagai jenis HFC berkisar 53 hingga 14.800 setara karbon dioksida (CO2). Nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai GWP dari CO2 sebesar satu. Sebagai contoh, jika HFC memiliki GWP sebesar 100, maka 2 ton gas itu setara dengan 200 ton CO2. Lebih lanjut, menurut Laksmi, Indonesia turut meratifikasi Konvensi Vienna, Protokol Montreal, dan segala amandemennya sejak 1992.

“Itu artinya, pemerintah wajib menghapus penggunaan bahan perusak ozon sesuai jadwal, seperti klorofluorokarbon (CFC) dan hidroklorofluorokarbon (HCFC). Terkini, pada 1 Januari 2022, pemerintah telah menghapus konsumsi HCFC-141b yang banyak digunakan di industri busa,” imbuhnya.

Sementara itu, Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK Emma Rachmawati menambahkan, jadwal pengurangan konsumsi HFC akan dimulai dengan freeze (pengembalian konsumsi ke baseline) pada 2024. Estimasi baseline adalah 18,85 juta ton setara CO2. Adapun pengurangan konsumsi secara bertahap dimulai dengan 10 persen pada 2029, 30 persen pada 2035, 50 persen pada 2040, dan 80 persen persen pada 2045.

”Target pertama penurunan HFC sebesar 10 persen atau sekitar 1,88 juta ton setara CO2 pada 1 Januari 2029,” ungkap Emma.

Senyawa HFC yang diatur dalam Amandemen Kigali itu mencakup senyawa tunggal dan campuran. HFC merupakan bahan alternatif pengganti HCFC dan CFC. Sementara itu, Indonesia tidak memproduksi HFC sehingga seluruh kebutuhan HFC berasal dari impor.

Berdasarkan catatan KLHK, penggunaan HFC selama periode 2015-2019, terdapat lima jenis senyawa yang paling banyak diimpor, yaitu HFC-134a dengan GWP 1.430, HFC-32 dengan GWP 675, R-410A dengan GWP 2.087,5, R-404A dengan GWP 3.921,6, dan R407C dengan GWP 1.773,85. Senyawa ini banyak digunakan pada industri pendingin dan tata udara seperti kulkas dan pendingin ruangan (AC), bahan busa, aerosol, halon pada pemadam api, bahan fumigasi, dan zat pelarut. (Hartatik)

Foto banner: Juicy FOTO/shutterstock.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles