Jakarta – Rencana pemerintah Indonesia untuk merevisi target energi baru dan terbarukan (EBT) dari 23% menjadi kisaran 17% hingga 19% pada 2025 menimbulkan keprihatinan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Energi. Melalui suara para ahli dan aktivis, mereka menyuarakan kekhawatiran terhadap potensi dampak negatif rencana tersebut terhadap kepercayaan investor pada sektor energi terbarukan di tanah air.
Dalam keterangan tertulis, Manajer Program Transformasi Energi Institute of Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo menilai bahwa penurunan target bukan disebabkan oleh masalah ekonomi energi terbarukan, melainkan oleh kendala dalam proses pengembangan dan pengadaannya. Ia menekankan perlunya perbaikan cepat dalam proses ini, khususnya menanggapi lambatnya realisasi rencana PT PLN (Persero) membangun pembangkit energi terbarukan sesuai RUPTL 2021-2030 sebesar 20,9 gigawatt (GW) hingga saat ini.
“Indikasi penurunan target dapat memberikan dampak negatif pada kepercayaan investor terhadap investasi energi terbarukan di Indonesia, meski masih dalam draf RPP Kebijakan Energi Nasional (KEN),” ungkap Deon.
Lebih lanjut, Deon mengatakan masalah lambatnya pencapaian target itu ada pada proses pengembangan dan pengadaan energi terbarukan. Ia berharap implementasi Peraturan Menteri ESDM 26/2021 yang mengatur regulasi PTLS atap jangan lagi tertunda. Apalagi pemerintah sudah menetapkan Proyek Strategis Nasional (PSN) PTLS atap 3,6 GW pada 2025.
Sementara itu, Divisi Kajian Indonesian Parliamentary Center (IPC), Arif Adiputro menambahkan dimensi lain terkait revisi target ini. Menurutnya, revisi tersebut bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk mencapai netral karbon pada 2060 dan mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29-31%.
Adiputro berpendapat bahwa peningkatan target bauran energi terbarukan menjadi 45% pada 2030 diperlukan agar Indonesia tetap konsisten dengan komitmen globalnya. Koalisi ini juga menyoroti aspek regulasi, terutama implementasi Peraturan Menteri ESDM 26/2021 yang mengatur regulasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PTLS) atap. Mereka menegaskan bahwa penundaan implementasi dapat menghambat proyek strategis nasional PTLS atap 3,6 GW pada 2025, yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law, Grita Anindarini menyoroti draf revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang mencakup sejumlah solusi semu dalam strategi transisi energi. Pemanfaatan biodiesel berbasis sawit, teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS) di pembangkit listrik berbasis fosil, dan pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) 250 megawatt (MW) dinilai memiliki risiko besar terhadap hak asasi manusia dan lingkungan.
Dengan fokus pada aspek ketenagalistrikan, Direktur Program Koaksi Indonesia, Verena Puspawardani, menyoroti potensi dampak positif dari keberlanjutan target energi terbarukan. Dengan konsistensi target 23% pada 2025 dan peningkatan menjadi 31% pada 2050, Verena memperkirakan bahwa lapangan kerja di bidang teknik energi terbarukan dapat mencapai 432 ribu pada 2030.
“Ini tentu akan berkontribusi pada pencapaian target investasi untuk pengembangan industri hijau, menjawab kebutuhan pekerjaan di masa depan, dan mendapatkan dukungan masyarakat untuk energi terbarukan,” ungkap Verena.
Keseluruhan, suara masyarakat ini menyoroti pentingnya memastikan bahwa revisi target energi terbarukan tidak hanya memperhitungkan aspek keekonomian, tetapi juga aspek keberlanjutan, investasi, dan komitmen pada perjanjian global mengenai perubahan iklim. (Hartatik)