oleh: Eko Prasetyo
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) generatif, teknologi canggih yang saat ini semakin populer dalam chatbot dan pembuatan gambar, menimbulkan pertanyaan tentang dampaknya terhadap lingkungan Bumi.
Associate Professor of Computer Science dari Boston University, Kate Saenko, menyampaikan keprihatinannya tentang biaya energi yang dibutuhkan untuk membangun model kecerdasan buatan tersebut. Semakin cerdas AI, semakin besar energi yang dikonsumsinya. Apa implikasi terhadap jejak karbon penggunaan AI generatif di masa depan?
Kemampuan AI dan sumber daya yang dibutuhkan
Kemampuan AI generatif untuk menghasilkan data yang kompleks menjadi poin utamanya. Berbeda dengan AI diskriminatif yang menghasilkan output berdasarkan opsi yang ada, misalnya menolak atau menerima pengajuan kredit, AI generatif mampu menghasilkan output yang lebih kompleks seperti kalimat, paragraf, gambar, dan bahkan video pendek. Teknologi ini telah digunakan dalam aplikasi smart speaker untuk memberikan respons suara atau fitur autocomplete untuk merekomendasikan pencarian.
Namun, popularitas AI generatif semakin meningkat karena teknologi ini kini mampu menghasilkan konten berbahasa yang mirip dengan manusia dan bahkan menciptakan foto-foto yang realistis.
Konsumsi energi yang lebih tinggi adalah salah satu hal yang perlu diperhatikan. Saat ini, belum ada data pasti mengenai konsumsi energi untuk satu model AI. Biaya energi ini mencakup energi yang digunakan dalam pembuatan perangkat komputasi, pembuatan model, dan implementasinya dalam proses produksi.
Pada tahun 2019, para peneliti menemukan bahwa pembuatan AI generatif bernama BERT, yang menggunakan 110 juta parameter, menghabiskan energi yang setara dengan perjalanan antarbenua menggunakan pesawat terbang. Jumlah parameter ini menentukan ukuran model AI. Semakin besar jumlahnya, semakin cerdas pula AI tersebut.
Para peneliti memperkirakan bahwa proses pembuatan GPT-3, model AI terbaru yang dikembangkan menjadi ChatGPT, yang memiliki 175 miliar parameter, menghabiskan listrik sebesar 1.287 megawatt dan menghasilkan 552 ton CO2. Jumlah emisi ini setara dengan emisi dari 123 mobil berbahan bakar bensin yang beroperasi selama satu tahun.
Namun, ukuran model bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi jejak karbon AI. Sebagai contoh, sebuah model AI open access bernama BLOOM yang memiliki ukuran serupa dengan GPT-3, menghasilkan jejak karbon yang jauh lebih rendah. BLOOM hanya menggunakan listrik sebesar 433 megawatt dan menghasilkan emisi setara dengan 30 ton CO2.
Studi yang dilakukan oleh Google menunjukkan bahwa penggunaan AI dengan ukuran serupa namun didukung oleh model perancangan dan prosesor yang lebih efisien, serta menggunakan pusat data yang ramah lingkungan, dapat mengurangi jejak karbon hingga seratus hingga seribu kali lipat.
Potensi penggunaan AI di masa depan
Dalam menghadapi masa depan, saat model AI yang lebih besar terus dikembangkan, tentu saja konsumsi energi yang dibutuhkan akan semakin tinggi. Namun, data mengenai jejak karbon untuk satu permintaan AI generatif masih terbatas. Beberapa perkiraan menunjukkan bahwa jumlahnya bisa mencapai 4-5 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan satu permintaan pada mesin pencari.
Popularitas chatbot dan pembuat gambar AI semakin meningkat. Beberapa tahun lalu, hanya sedikit orang di luar laboratorium riset yang menggunakan model seperti BERT dan GPT. Namun, semuanya berubah pada 30 November 2022, ketika OpenAI meluncurkan ChatGPT.
Data terbaru menunjukkan bahwa pada Maret 2023, ChatGPT telah dikunjungi sekitar 1,5 miliar kali. Dua bulan setelahnya, Microsoft juga mengintegrasikan ChatGPT ke dalam mesin pencari mereka, Bing, sehingga dapat digunakan oleh siapa saja.
Apabila popularitas chatbot setara dengan mesin pencari, maka konsumsi energi dalam penggunaan AI akan terus meningkat. Bantuan AI tidak hanya terbatas pada pencarian, tetapi juga dapat digunakan untuk menulis dokumen, memecahkan masalah matematika, dan bahkan membuat kampanye pemasaran.
Model AI juga harus terus diperbarui. Misalnya, ChatGPT hanya dilatih dengan data hingga tahun 2021. Hal ini berarti model AI ini tidak mengetahui apa yang terjadi setelahnya. Proses pembaruan pengetahuan ChatGPT secara terus-menerus juga akan meningkatkan konsumsi energi yang diperlukan.
Terdapat pula orang-orang yang lebih memilih bertanya kepada chatbot untuk memperoleh informasi lebih lanjut daripada menggunakan mesin pencari. Daripada melihat halaman yang penuh dengan tautan, mereka dapat langsung mendapatkan jawaban seperti saat bertanya kepada manusia—tentu saja dengan asumsi keakuratan jawaban tersebut. Kecepatan dalam memperoleh informasi dapat menyeimbangkan peningkatan penggunaan energi dari AI dibandingkan dengan mesin pencari.
Menghadapi masa depan, sulit untuk memprediksi secara pasti. Namun, model AI generatif yang besar kemungkinan akan tetap ada dan digunakan oleh orang-orang untuk memperoleh informasi.
Sebagai contoh, saat ini seorang siswa yang membutuhkan bantuan dalam memecahkan soal matematika dapat langsung bertanya kepada guru atau teman, atau merujuk pada buku teks. Di masa depan, kemungkinan mereka akan bertanya kepada chatbot. Kebutuhan akan pengetahuan dari ahli juga dapat berlaku dalam persoalan hukum atau kesehatan.
Perencanaan solusi
Satu model AI yang besar mungkin tidak secara langsung merusak lingkungan. Namun, jika ribuan perusahaan mengembangkan ribuan AI bot untuk berbagai tujuan, dan setiap model tersebut digunakan oleh jutaan pengguna, maka konsumsi energinya dapat menjadi masalah. Oleh karena itu, diperlukan lebih banyak penelitian agar AI generatif dapat beroperasi dengan lebih efisien.
Pemanfaatan energi terbarukan juga dapat mengurangi emisi karbon dalam operasional AI hingga sepertiga atau seperempat dari penggunaan energi fosil. Salah satu cara adalah dengan menempatkan sistem komputasi di lokasi yang memiliki pasokan energi terbarukan yang melimpah, atau menjadwalkan operasi AI pada pagi dan sore hari ketika pasokan energi terbarukan lebih tinggi.
Pada akhirnya, tekanan sosial dapat mendorong perusahaan dan laboratorium riset untuk mengungkapkan jejak karbon dari model AI mereka—beberapa perusahaan sudah melakukannya. Diharapkan bahwa di masa depan, konsumen dapat menggunakan informasi ini untuk memilih chatbot yang ramah lingkungan.
*Penulis adalah peneliti hukum dan teknologi
Foto banner: Markus Spiske/pexels.com