Kebijakan ekspor pasir laut dan krisis iklim di Indonesia

oleh: Firdaus Cahyadi*

“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, dan memunggungi selat dan teluk. Ini saatnya kita mengembalikan semuanya sehingga jalesveva jayamahe, di laut justru kita jaya, sebagai semboyan nenek moyang kita di masa lalu bisa kembali lagi membahana,” kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat pidato kenegaraan pertamanya di gedung DPR, pada tanggal 20 Oktober 2014.

Tepuk tangan bergema selama pidato Presiden Jokowi pada tahun 2014. Sejak pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia, arus utama pembangunan di Indonesia lebih banyak dilakukan di daratan. Pada saat itu, para pengambil kebijakan di Indonesia secara sengaja melupakan bahwa Indonesia adalah negara laut. Lautan di Indonesia bukanlah pemisah antar pulau, melainkan penghubung. Baru setelah Gus Dur menjadi Presiden Indonesia, pembangunan di sektor kelautan kembali mendapat perhatian.

Sayangnya, pidato Presiden Jokowi yang hingar-bingar itu kini seakan terlupakan. Ironisnya, Presiden Jokowi sendiri yang melupakannya. Baru-baru ini Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Peraturan tersebut membuka kembali izin ekspor pasir laut setelah dilarang pemerintah selama 20 tahun.

Dibukanya ekspor pasir laut akan meningkatkan eksploitasi dasar laut. Hal ini tentunya akan membawa konsekuensi pada perubahan geomorfologi laut di wilayah yang dieksploitasi. Perubahan geomorfologi laut berdampak pada peningkatan kerentanan wilayah pesisir terhadap abrasi.

Tanpa adanya kegiatan penambangan pasir laut, saat ini wilayah pesisir pantai rentan terhadap abrasi akibat krisis iklim. Saat ini, hampir seluruh wilayah pesisir di dunia semakin rentan tenggelam akibat krisis iklim.

Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim tahun 2021, kawasan Asia Tenggara akan mengalami kenaikan permukaan air laut lebih cepat dibandingkan kawasan lainnya.

Menurut catatan Profesor Edvin Aldrian, pakar iklim dan meteorologi di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), hilangnya wilayah pesisir dan penurunan garis pantai di Asia Tenggara telah diamati sejak tahun 1984-2015. Hilangnya wilayah pesisir menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini diperparah dengan semakin tingginya Tingkat Air Total Ekstrim (ETWL) di daerah dataran rendah dan erosi pantai yang mulai terjadi di sepanjang pantai berpasir.

Hal yang sama diperkuat dengan hasil kajian Bappenas (2021) terkait Indeks Kerentanan Pesisir (Coastal Vulnerability Index/CVI) yang mengklasifikasikan tingkat kerentanan berdasarkan parameter fisik dan oseanografi yang menunjukkan bahwa panjang garis pantai yang terkena dampak kategori CVI tertinggi (indeks 5) adalah sepanjang 1.819 km. Sementara itu, Pulau Sulawesi memiliki indeks kerentanan tertinggi dengan 904,51 km.

Apa artinya? Krisis iklim menyebabkan wilayah pesisir rentan tenggelam dan menurunkan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir. Eksploitasi pasir laut untuk ekspor akan menambah dan mempercepat tenggelamnya wilayah pesisir di Indonesia.

Jika kerusakan pesisir semakin parah akibat eksploitasi pasir laut untuk diekspor, maka tingkat kemiskinan di wilayah pesisir akan semakin meningkat. Meningkatnya kemiskinan di wilayah pesisir tentu tidak akan berpengaruh pada elit ekonomi dalam korporasi yang berbisnis ekspor pasir laut.

Penelitian internal pemerintah telah menunjukkan kerentanan wilayah pesisir akibat krisis iklim. Penelitian seharusnya tidak hanya menjadi tumpukan kertas yang tidak bermakna. Penelitian ini harus menjadi dasar dalam pembuatan kebijakan di sektor maritim.

Publik juga tidak bisa tinggal diam. Pendukung Presiden Jokowi juga harus mengingatkan bahwa kebijakan pemerintah terkait izin ekspor pasir laut akan mengekspos kerentanan wilayah pesisir dan kehidupan masyarakat. Pendukung Presiden Jokowi tidak boleh membiarkan presiden menjadi tawanan elit ekonomi dalam korporasi yang berbisnis ekspor pasir laut.

Publik harus mengingatkan Presiden Jokowi pada pidato pertamanya di tahun 2014 yang akan menghentikan kebiasaan memunggungi laut. Kebijakan yang mengizinkan ekspor pasir laut adalah contoh nyata dari kebijakan yang memunggungi laut.

Belum terlambat bagi Presiden Jokowi untuk menghindari perusakan alam di wilayah pesisir. Presiden Jokowi perlu segera membatalkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Presiden Jokowi harus berani mengoreksi peraturan yang salah dan berpotensi merusak lingkungan dan merugikan masyarakat pesisir.

*Penulis adalah konsultan komunikasi untuk 350.org Indonesia

Foto banner: Reklamasi di pantai utara Jakarta, 22 Februari 2022. (Bagus upc/shutterstock.com)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles