Irigasi surya atasi kekeringan di lumbung padi – bagian 2

Pipa pompa irigasi bertenaga surya mengalirkan air sungai ke sawah petani di Desa Kaliwungu Lor Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo. (Hartatik)

oleh: Hartatik

Purworejo – Senyum sumringah mengembang dari petani di Desa Kaliwungu Lor, Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo. Mereka baru saja memanen padi untuk masa tanam ketiga. Padahal sudah berpuluh-puluh tahun sebelumnya, mereka hanya bisa menikmati panen paling banyak dua kali musim tanam, lantaran pengairan sawah mereka bergantung dari air hujan.

“Dari kecil sampai sekarang belum pernah terpikirkan mencari solusi, agar petani bisa tercukupi air untuk pertanian padi maupun palawija. Ini pertama sepanjang sejarah Kaliwungu Lor bisa sampai masa tanam ketiga,” ujar Kepala Desa Kaliwungu Lor, Ganjar Santoso (48), akhir Juli 2023.

Lebih lanjut, Ganjar mengatakan bisa mewujudkan impian petani di sisi timur Sungai Kranjan berkat pompa air tenaga surya. Pompa yang menggunakan sumber energi listrik dari sinar matahari melalui panel surya itu merupakan bantuan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Tengah yang diserahterimakan akhir 2020. Nilai bantuan pompa dengan kapasitas 11 kiloWatt per peak (kWp) tersebut sebesar Rp 510.416.734

Bantuan bermula dari keluh kesah Ganjar tentang kesulitan petani mendapatkan pengairan saat musim kemarau. Padahal desa ini memiliki bendungan yang memisahkan air laut dari Sungai Krajan. Meski Kaliwungu Lor berjarak lima kilometer dari laut, tapi kalau rob datang, air laut bisa sampai ke sungai. Karena itu pihak desa membangun bendungan dengan dilengkapi empat pintu sepanjang 20 meter, lebar 25 meter dan berkedalaman 3,5 meter.

Pompa listrik bertenaga diesel peninggalan Belanda menjadi tumpuan irigasi sawah tadah hujan sebelum dioperasikan PLTS di Desa Kaliwungu Lor Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo. (Hartatik)

Tadah hujan

Pengairan senantiasa dikeluhkan setiap musim kemarau tiba, lantaran areal pertanian warga merupakan sawah tadah hujan. Selama ini, air tawar dari bendungan ditarik menggunakan pompa diesel peninggalan sejak zaman kolonial Belanda. Selanjutnya, air dari bendungan dialirkan menggunakan pipa ke jaringan irigasi sawah petani. Dalam setahun mesin pompa diesel berukuran 6 silinder itu diservis sampai dua kali.

“Biaya perawatan pompa diesel mahal. Sekali servis bisa sampai Rp 8 jutaan. Bisa dibayangkan dalam setahun kami harus mengeluarkan ongkos servis sampai Rp 16 juta.,” imbuh Ganjar.

Selain itu, operasional pompa berbahan bakar solar ini dalam satu kali masa tanam bisa mencapai Rp 24 jutaan, untuk mengairi 20-30 hektar (ha) areal pertanian warga di sisi timur bendungan. Dengan demikian biaya operasional pompa per ha lahan bisa mencapai Rp 800.000-Rp 1.200.000. Dan pengeluaran itu semua ditanggung mandiri oleh petani. Belum lagi akses untuk mendapatkan solar juga semakin sulit.

“Awalnya kami mengajukan bantuan pompa air tenaga surya ini senilai Rp 1,7 miliar untuk mengairi sawah warga di sisi timur dan barat bendungan,” bebernya.

Namun bantuan yang turun berkisar Rp 500 jutaan, sehingga pompa air tenaga surya tanpa aki (baterai) itu hanya diperuntukkan bagi lahan petani di sisi timur sungai yang posisinya lebih tinggi satu meter dari bendungan. Pompa tenaga surya ini beroperasi mulai pukul 08.00 hingga 16.00. Menurutnya, keberadaan pompa air yang terhubung panel surya ini sangat menguntungkan tidak hanya ramah lingkungan, tapi juga membantu petani yang kini tidak lagi dipusingkan dengan pengeluaran operasional BBM ketika menggunakan pompa diesel.

Sebab pemakaian pompa tenaga surya tersebut gratis, sepenuhnya hanya bergantung pada sinar matahari. Selain itu, pemeliharaan panel surya sangat mudah, hanya dibersihkan dari debu dan umur pemakaiannya bisa bertahan 10-15 tahun.

Melihat keberhasilan itu, kini Ganjar tingga dipusingkan oleh kecemburuan petani di sisi barat bendungan. Mereka juga minta ditempatkan pompa tenaga surya. Sementara luasan areal sawahya sampai 60 hektar atau tiga kali lipat dibanding lahan pertanian di sisi timur bendungan.

“Mudah-mudahan kami bisa kembali mengakses bantuan dari Pemprov,” tukasnya.

Apalagi, lanjutnya, daya listrik dari panel surya yang terpasang yakni 7.000 Watt baru terpakai 1.700 Watt. Dan jika pihak desa nantinya mendapat tawaran bantuan kembali, maka ia akan meminta satu lagi pompa tenaga surya untuk mengairi lahan di sisi barat bendungan.

Menginspirasi lain desa

Keberhasilan Desa Kaliwungu mengatasi pengairan dengan memanfaatkan energi surya ini juga menginspirasi Desa Krandegan di Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo. Kades Krandegan, Dwinanto (43) Irigasi gratis, menjadi salah satu sistem ketahanan desa yang dibangun setelah ia dilantik sebagai kades, pada 2013. Kini sistem tersebut telah menuai hasilnya. Dwinanto yang akrab disapa Dwi bercerita, tahun-tahun sebelum dirinya menjabat kades, para petani di Desa Krandegan hanya bisa satu kali tanam dalam setahun. Semestinya mereka bisa tiga kali tanam.

Alhasil tidak sedikit petani yang membiarkan sawahnya tidak terurus. Itu dikarenakan posisi desa berada di hilir dari irigasi teknis Bendung Jrakah di Sungai Dulang, sehingga air sudah habis di perjalanan menuju ke desa tersebut.

Para petani yang bertahan mau tidak mau hanya mengandalkan hujan. Sebaliknya mesin pompa diesel pun menjadi pilihan petani yang menanam padi pada musim kemarau, atau musim tanam kedua dan ketiga.

Nurfuadi (55), salah satu petani mengaku jika ingin sawah tidak kering pada musim kemarau maka harus merogoh kocek lebih dalam. Untuk luasan sawah sekitar 7.000 m2, ia menghabiskan biaya lebih dari Rp 3 juta untuk menyewa pompa beserta bahan bakarnya.

Atas kondisi petani seperti itu, Dwi lantas menggalang donasi dari masyarakat Krandegan yang sukses menjalankan usahanya. Lalu ia meluncurkan program irigasi gratis. Dari uang donasi, sepuluh mesin pompa dibeli untuk menyedot air Sungai Dulang, Sungai Jali, dan sumur bor. Air dialirkan lewat saluran irigasi tersier yang sudah ada, menuju sawah petani.

“Sepuluh mesin pompa ini mampu mengairi kurang lebih 70 hektar sawah,” imbuhnya.
Masyarakat tidak sedikitpun dipungut untuk biaya operasional tersebut. Melalui program irigasi gratis ini, para petani Krandegan menikmati hasil selama dua kali panen pada musim kemarau. Meski petani tidak lagi kesulitan air, namun masih ada hal yang mengganjal dalam pikiran Dwi.

“Saya berpikir tidak mungkin pemerintah desa terus-terusan mengandalkan donasi agar irigasi gratis ini bisa terus berjalan. Lebih baik donasi yang sekarang rutin terkumpul bisa dialokasikan untuk keperluan sosial lainnya,” tuturnya.

Merujuk pada masalah itu, bisa dikatakan bahwa program irigasi gratis menggunakan pompa diesel sulit untuk diteruskan. Biaya bahan bakar adalah beban paling berat. Bahkan donatur mengindikasikan dalam waktu dekat akan menghentikan sumbangan yang selama ini diberikan. Bagi petani, kondisi itu merupakan ancaman serius.

Hamparan panel surya yang menjadi sumber listrik pompa irigasi di Desa Kaliwungu Lor Kecamatan Ngombol, Kabupaten Purworejo. (Hartatik)

Pengalaman desa‐desa tetangga membuktikan bahwa tanpa subsidi biaya bahan bakar, mesin‐mesin pompa air mereka tidak digunakan selama bertahun‐tahun. Hal sama kemungkinan bisa terjadi di Desa Krandegan. Jika bantuan biaya bahan‐bahar dihentikan oleh donatur, petani akan kembali mempraktikkan sawah tadah hujan dengan jumlah panen turun dari tiga kali setahun menjadi satu kali setahun.

Sebab biaya bahan bakar, yang merupakan komponen biaya paling besar, dan disediakan oleh donatur. Dana desa tidak dapat digunakan untuk membeli bahan bakar. Dana pembelian BBM itu dalam setahun yang ditanggung donator bisa sampai Rp 200 juta atau Rp 500 ribu per hari.

Belum lagi petani harus menyediakan biaya pelumas pompa setiap dua bulan sekitar Rp 300 ribu, atau Rp 2 juta setiap mesin selama satu tahun. Untuk semua mesin sebanyak 8 unit, petani harus menyediakan secara mandiri biaya pelumas sekitar Rp. 15 juta. Lalu biaya operasional lain seperti biaya perawatan mesin dan pompa, petani mengeluarkan biaya sekitar Rp. 2,5 juta per tahun.

Dengan menjumlahkan tiga komponen biaya operasional dan perawatan maka dibutuhkan biaya rata‐rata Rp. 200 juta per tahun atau sekitar Rp. 2,67 juta per hektar per tahun. Sementara pengembangan pompa bertenaga surya meski besar pada investasi awal, namun bisa diwariskan ke anak cucu.

Dwinanto pun mengajukan proposal pengadaan PLTS kepada Pemprov Jateng. Dan tahun ini bisa terealisasi PLTS berikut dengan panel surya dan pompanya. Pemprov Jateng mengucurkan anggaran dari APBD I sebesar Rp 450 juta untuk merealisasikan pembangunan

PLTS di desa yang ditetapkan sebagai Desa Mandiri ini. Sistem irigasi bertenaga surya tersebut berkapasitas sekitar 18.800 Watt atau setara 2 mesin diesel yang mampu mengoperasikan lima pompa air. Sedangkan pompa air yang terintegrasi dengan PLTS itu mampu menghasilkan debit air 77 liter/detik 279 meter kubik per jam.

“Saya yakin nilai manfaat yang dirasakan petani dari pengembangan energi surya ini bisa lebih besar dan berjangka waktu lama,” kata Dwinanto.

Sementara itu, berdasarkan laporan Indonesia Solar Energy Outlook 2023 yang dikeluarkan Institute for Essential Services Reform (IESR), tenaga surya memainkan peran penting dalam dekarbonisasi mendalam di Indonesia pada 2060 atau lebih cepat pada 2050, setidaknya 88% dari kapasitas daya terpasang akan berasal dari tenaga surya pada 2050.

Sayangnya, penggunaan tenaga surya di Indonesia baru mencapai 0,2 Giga Watt peek (GWp) dari kapasitas terpasang dan hanya menghasilkan kurang dari 1% dari total pembangkit listrik pada akhir 2021.

Marlistya Citraningrum, Program Manager Akses Energi Berkelanjutan IESR mengatakan, energi surya bisa untuk sektor-sektor produktif termasuk sektor pertanian.

“Pemanfaatan pompa air tenaga surya mudah direplikasi di daerah-daerah pertanian yang membutuhkan air dan bisa dikolaborasikan dengan berbagai pihak,” ujarnya.

Alvin Putra Sisdwinugraha, Peneliti Sistem Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR dalam acara Bincang Energi Surya #3 mengatakan, energi surya dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 akan memainkan peran penting dalam ketenagalistrikan Indonesia untuk mencapai net zero emission (NZE), sementara skala utilitas masih menjadi penyumbang terbesar.

“Sektor pertanian menjadi saah satu klaster potensi di dalam RUPTL selain sektor pertambangan, sektor wisata, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS atap), PLTS terapung, dan sektor lain dengan kapasitas total mencapai 2,1 Giga Watt,” terang Alvin.

Foto banner: Sistem pembangkit tenaga listrik tenaga surya yang menggerakkkan pompa irigasi di Desa Krandegan Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles