Jakarta – Meskipun pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dan komitmen transisi energi, Institute for Essential Services Reform (IESR) menyatakan keprihatinan terkait lambatnya tren pembangunan energi terbarukan. Hingga kuartal keempat 2023, hanya tercapai 0,97 GW dari target 3,4 GW, dan jika tren ini berlanjut, mencapai puncak emisi pada 2035 menjadi semakin sulit.
Indonesia merancang strategi agresif untuk mencapai puncak emisi gas rumah kaca pada tahun 2035 dan menuju net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal. Langkah ini menjadi semakin penting mengingat sektor energi di Indonesia, yang menyumbang sekitar 90,4 persen emisi dengan dominasi energi fosil, harus beralih ke energi terbarukan.
Dalam laporan unggulan berjudul “Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024,” IESR menyoroti perlunya dukungan regulasi dan investasi untuk mempercepat transisi energi. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, menyebutkan bahwa evaluasi proses transisi energi di sektor ketenagalistrikan, industri, transportasi, dan bangunan menjadi fokus utama.
“IESR melalui IETO 2024 mencoba mengukur proses transisi energi dalam berbagai sektor. Terdapat empat enabling condition yakni kerangka kebijakan dan regulasi, dukungan pendanaan dan investasi, aplikasi dari teknologi, serta dampak sosial dan dukungan masyarakat,” ujar Fabby dalam media briefing peluncuran IETO 2024, Selasa (12/12/2023)
Laporan tersebut juga menyoroti kebutuhan Indonesia untuk mengurangi 4,29 GW PLTU batubara dan diesel serta meningkatkan pembangunan energi terbarukan sebanyak 30,5 GW tambahan hingga 2030 untuk mencapai target kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) 250 MtCO2e/y pada tahun 2030.
Pada kesempatan itu, Analisis energi terbarukan IESR, Pintoko Aji menyatakan bahwa penetrasi energi terbarukan variabel seperti PLTS dan PLTB yang tinggi akan membuat konsep pembangkit baseload atau pembangkit yang beroperasi secara berkesinambungan dengan kapasitas tinggi, menjadi tidak relevan.
“Dengan adanya kebutuhan untuk meningkatkan penetrasi variable renewable energy (VRE), sistem ketenagalistrikan Indonesia membutuhkan sistem yang lebih fleksibel dan responsif,” katanya.
IESR mendorong pemerintah untuk menunjukkan komitmen politik yang lebih kuat dan mengimplementasikan strategi dekarbonisasi di seluruh sektor. Dengan pemilihan presiden baru pada Pemilu 2024, diharapkan momentum transisi energi dapat dipercepat. (Hartatik)