Nusa Dua, Bali – Kajian International Energy Agency (IEA) terhadap transisi energi yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mencapai emisi nol bersih (NZE) pada tahun 2060, menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan hampir tiga kali lipat investasi energi di tahun 2030 dari tingkat saat ini.
Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol pada sidang Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) di Bali, Jum’at (2/9) mengungkapkan bahwa Indonesia perlu memastikan reformasi kebijakan untuk membuka jalan bagi transisi ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada batubara. Hal ini penting dalam penyusunan peta jalan NZE yang nantinya akan membantu memandu transisi energi Indonesia selama beberapa tahun dan dekade mendatang.
“Indonesia memiliki kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa untuk negara yang sangat bergantung pada ekspor bahan bakar fosil, jalan menuju emisi nol bersih tidak hanya feasible tetapi juga memberikan manfaat,” ujar Fatih.
Dalam laporan terbaru berjudul The IEA’s Energy Sector Roadmap to Net Zero Emissions in Indonesia, IEA menyebutkan ada tambahan investasi sebesar US$ 8 miliar per tahun. Menurutnya, mobilisasi pembiayaan tambahan itu tergantung pula pada dukungan keuangan internasional melalui program pendanaan Kemitraan Transisi Energi Internasional yang Adil (Just Energy Transition Partnership/JETP).
“Saya meminta mitra internasional Indonesia untuk memobilisasi pembiayaan energi bersih melalui JETP dan memastikan adanya transfer teknologi. Hasilnya akan membawa manfaat besar bagi Indonesia dan dunia,” ucap Fatih.
Salah satu potensi sumber energi terbarukan yang menjadi perhatian IEA adalah tenaga surya. Lembaga internasional ini minta lebih banyak diimplementasikan, memiliki (harga) kompetitif, dan proyek yang menjanjikan.
Sementara itu, Direktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, menekankan keberadaan peta jalan NZE hasil kolaborasi Indonesia-IEA akan digunakan sebagai bahan masukan untuk menyempurnakan peta jalan NZE Indonesia pada COP26 di Glasgow.
“Kita ingin memastikan bahwa roadmap kita ini bisa berjalan dengan baik, bisa dilaksanakan dari prinsip daya saing. Kami Proses transisi ini tidak menurunkan daya saing Indonesia,” jelas Dadan
Berdasarkan hasil pemodelan Indonesia dan IEA ini, kedua belah pihak telah berhasil mengidentifikasi beberapa aksi mitigasi, diantaranya pengembangan energi terbarukan secara masif dengan fokus pada solar, hidro dan panas bumi, penghentian bertahap (phase down) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), penggunaan teknologi rendah emisi seperti pengembangan super grid untuk meningkatkan konektivitas, Carbon, Capture, Utilization, and Storage (CCS/CCUS), konversi kendaraan listrik dan penerapan peralatan efisiensi energi untuk sektor industri, transportasi dan bangunan serta penggunaan energi baru seperti nuklir, hidrogen, dan amonia.
Selain itu, Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa tambahan pembangkit listrik setelah tahun 2030 hanya berasal dari pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT). Mulai tahun 2035 akan didominasi oleh Variable Renewable Energy (VRE), sedangkan pembangkit listrik tenaga nuklir akan masuk sistem pada tahun 2049. (Hartatik)
Foto banner: Direktur Eksekutif IEA Fatih Birol berbicara pada sidang Energy Transitions Ministerial Meeting (ETMM) di Bali, Jum’at (2/9).