Dengan panas bumi, Indonesia berpotensi kurangi emisi GRK hingga 182 juta ton

Jakarta – Menurut data ReforMiner Institute, selama 2017-2023 kapasitas terpasang panas bumi hanya meningkat sekitar 789,21 MW. Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber daya panas bumi sebesar 23.765,5 MW, atau sekitar 40 persen dari total potensi panas bumi global.

Meski memiliki potensi besar, pengembangan energi panas bumi di Indonesia masih terbilang lambat. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan bahwa sejak mulai diusahakan pada 1980-an hingga akhir 2023, total kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi di Indonesia baru mencapai 2.597,51 MW, atau sekitar 10,3 persen dari total potensi yang ada.

“Jika seluruh potensi panas bumi Indonesia dapat dimanfaatkan, terdapat potensi penurunan gas rumah kaca (GRK) sekitar 182,32 juta ton CO2e, atau setara dengan 58 persen target penurunan GRK sektor energi pada 2030,” kata Komaidi dalam keterangan resmi, pada Kamis, 13 Juni.

Komaidi melanjutkan bahwa energi panas bumi memiliki karakteristik penting untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Karena panas bumi relatif tidak dapat diekspor, pemanfaatannya diprioritaskan untuk kepentingan domestik.

Panas bumi juga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber energi baru dan terbarukan (EBT) lainnya, seperti tidak tergantung pada cuaca, produksi energi yang lebih besar, tingkat kapasitas yang lebih tinggi, dan biaya operasi yang lebih murah.

“Dalam kelompok EBT, faktor kapasitas listrik panas bumi (PLTP) tercatat sebagai yang terbaik, yaitu antara 90-95 persen. PLTP merupakan satu-satunya pembangkit EBT yang dapat beroperasi sebagai beban dasar (base load) dalam sistem kelistrikan,” jelas Komaidi.

Menurut Statistik PLN 2022, rata-rata biaya operasi PLTP sebesar Rp 118,74/kWh, jauh di bawah rata-rata biaya operasi pembangkit listrik nasional sebesar Rp 1.473/kWh. Pemanfaatan panas bumi berpotensi memberikan manfaat positif terhadap kondisi makro moneter Indonesia. Namun, Komaidi mencatat bahwa meskipun memiliki keunggulan, panas bumi belum menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan kebijakan transisi energi. RUPTL 2021-2030 menetapkan target tambahan pembangkit energi baru dan energi terbarukan (EBET) hingga 2030 sebesar 20,9 GW, dengan hanya 16 persen berasal dari PLTP.

Dalam dokumen Kebijakan Energi Nasional (KEN), target pemanfaatan panas bumi juga tidak menjadi prioritas utama. Hingga tahun 2050, kapasitas pembangkit dari bioenergi, PLTA, dan PLT Surya ditargetkan masing-masing sebesar 26 GW, 38 GW, dan 45 GW, sementara kapasitas PLTP hanya ditargetkan sebesar 17,5 GW.

“ReforMiner menilai, relatif belum dijadikannya sumber energi panas bumi sebagai prioritas dalam pelaksanaan transisi energi karena adanya sejumlah kendala dalam pengembangan dan pengusahaannya,” ujar Komaidi.

Risiko yang harus dihadapi pengembang dalam pengusahaan panas bumi di Indonesia termasuk risiko kegagalan eksplorasi, risiko finansial akibat tata waktu dan struktur pasar, hambatan regulasi dan tata kelola, kebutuhan modal awal yang besar, durasi pengembangan yang lama, dan lokasi geografis sumber daya panas bumi di daerah terpencil.

Komaidi mencatat bahwa permasalahan pengembangan panas bumi di negara lain relatif sama dengan Indonesia. Namun, sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Kenya, Islandia, Selandia Baru, dan Meksiko berhasil mendorong harga listrik panas bumi menjadi kompetitif melalui kebijakan inovatif.

“Sejumlah terobosan kebijakan yang dilakukan oleh Kenya, Islandia, dan Filipina yang terbukti berhasil meningkatkan pengusahaan dan pemanfaatan panas bumi pada masing-masing negara tersebut kiranya dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi Indonesia,” tutup Komaidi. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles