CSO: Transisi energi terancam gagal, pendanaan JETP harus transparan

Diskusi media dengan tema “Peran Anak Muda untuk Memastikan Keterbukaan Informasi dalam Proses Transisi Energi JETP Rp 310 Triliun” di Jakarta Pusat, Rabu (24/5). (Sumber: 350.org Indonesia)

Jakarta – Sejumlah komunitas peduli lingkungan dan iklim mendesak keterbukaan informasi bagi publik terkait dengan pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP). Hampir setahun sejak program transisi energi yang akan didanai JETP digulirkan, belum ada kejelasan dan transparansi publik terkait peta jalan dari pendanaan proyek.

Dalam diskusi yang digelar 350 Indonesia, dibahas potensi gagalnya transisi energi secara berkeadilan. Alexandra Aulianta, peneliti AEER (Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat) menilai salah satu persoalan JETP adalah transparansi.

“Sampai saat ini kita tidak mengetahui sejauh mana investment plan dari JETP yang sekarang sedang dipersiapkan pemerintah Indonesia,” ujarnya dalam rilis tertulis dari diskusi bertajuk Anak Muda Menuntut Pemerintah Membuka Informasi Penggunaan Dana JETP Rp 310 Triliun ke Publik.

Menurut Alexandra, pengelolaan dana transisi energi yang berjumlah triliunan rupiah, masih gelap. Gelapnya pengelolaan dana transisi energi itu mencakup ketidakjelasan komitmen negara-negara donor hingga proyek-proyek yang akan didanai oleh skema JETP. Lalu persoalan selanjutnya adalah dampak dari salah satu project JETP terkait penutupan PLTU batu bara terhadap buruh.

“Celakanya, sektor batu bara didominasi dengan elite ekonomi yang juga dekat dengan lingkaran politik, baik di pemerintahan maupun di oposisi, sehingga sulit untuk membuat kebijakan terkait dengan energi terbarukan,” imbuh Alexandra.

Juru Kampanye 350 Indonesia, Suriadi Darmoko menambahkan, ketidakjelasan terkait pendanaan JETP bukan hanya datang dari negara-negara donor tapi juga dari Sekretariat JETP. “Yang muncul di publik adalah wacana-wacana terkait solusi palsu transisi energi dari lingkaran pengambil kebijakan terkait JETP,” kata Suriadi.

Bahkan, menurutnya, hingga kini Sekretariat JETP tidak memiliki website yang bisa diakses public. Hal ini tentu bisa menjadi preseden buruk bagi keterbukaan informasi publik. Menurut Suriadi, “tanpa adanya keterbukaan informasi, tidak akan ada partisipasi publik”.

Seiring dengan masih banyaknya persoalan yang melingkupi transisi energi dalam JETP tersebut, Komunitas Climate Rangers Cirebon mendesak Sekretariat JETP untuk segera membuka informasi dan melibatkan publik dalam pengambilan kebijakannya. Ketidakjelasan informasi terkait JETP itu menyebabkan potensi transisi energi dibajak kepentingan elite ekonomi-politik. “Rantai pasok transisi energi akan kembali dikuasai elite yang semula justru berbisnis energi fosil,” tegasnya.

Keberpihakan pemerintah terhadap energi terbarukan di tingkat komunitas pun tidak jelas. Hingga kini belum ada pernyataan pemerintah berapa porsi dana dari dana JETP yang akan digunakan untuk membangun energi terbarukan di tingkat komunitas.

Hal senada diungkapkan Ahdi Aghni, Koordinator Climate Rangers Cirebon. Menurutnya, seiring dengan berjalanya waktu, setelah terjadinya pertemuan G20 di Bali, banyak kejanggalan dan pertanyaan publik terkait pendanaan JETP.

Terkait dengan itulah, komunitas Climate Rangers Cirebon membuat petisi kepada pemerintah dan Sekretariat JETP untuk membuka informasi dan melibat publik. “Kami mengajak publik untuk terlibat mendesak para pengambil kebijakan energi untuk membuka informasi terkait JETP,” tukasnya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles